Foto, ilustrasi sepeda motor. Sumber Foto: Mojok. |
Queensha.id - Otomotif,
Sepeda motor tak lagi sekadar alat transportasi. Di banyak tempat, ia menjelma menjadi simbol status sosial. Fenomena ini tampak jelas dalam kisah Honda ADV 160 dengan skuter premium yang dihormati bak moge di perdesaan, namun kerap dianggap norak dan tidak relevan di perkotaan.
Dengan harga yang menyentuh angka Rp35-40 juta, ADV 160 menghadirkan dilema menarik: satu motor, dua dunia. Di desa-desa, ia dirayakan sebagai simbol kesuksesan dan pencapaian ekonomi. Sementara di kota-kota besar, motor ini justru jadi sasaran sindiran.
ADV 160: Dari Gunungkidul, Hadir Sebagai Lambang Kemapanan
Bagi warga perdesaan seperti Yusuf (23), warga Gunungkidul, Honda ADV 160 lebih dari sekadar kendaraan. “Di sini, kalau sudah punya ADV, itu tandanya sudah ‘jadi’,” ujarnya kepada Queensha Jepara, Minggu (20/7/2025).
Yusuf menceritakan pengalaman lucunya saat melintas di depan rumah Pak RT. “Begitu lihat motor saya, beliau langsung nyeletuk, ‘Wah, motornya udah kayak moge!’ Saya cuma bisa senyum,” katanya terkekeh.
Bagi masyarakat desa, bodi besar dan tampilan gagah ADV 160 memberi kesan eksklusif. Dibandingkan dengan motor bebek atau matik yang harganya berkisar Rp17-20 juta, ADV 160 berada di kelas tersendiri. Ini membuatnya otomatis diasosiasikan dengan keberhasilan ekonomi.
Tak Perlu Lagi Ditanya 'Kerja Apa'
Lebih dari tampilan, ADV 160 bahkan bisa “menutup mulut tetangga”. Menurut Yusuf, keberadaan motor ini langsung menjawab pertanyaan klasik seperti “kerja apa?” atau “gaji berapa?” yang biasa muncul dari rasa ingin tahu warga kampung.
“Kalau di desa, orang udah tahu, yang punya ADV pasti usahanya jalan atau kerjaannya mapan,” ujar Yusuf. Motor ini seakan menjadi validasi visual atas keberhasilan perantau yang pulang kampung. “Dulu yang dianggap sukses itu yang bawa CBR. Sekarang, ADV juga udah masuk tier atas,” tambahnya.
Tangguh di Jalan Rusak: Fungsionalitas yang Cocok untuk Desa
Kecintaan warga desa terhadap ADV 160 bukan cuma soal gengsi. Motor ini memang dirancang untuk medan yang berat—cocok dengan kondisi jalan di pedesaan yang seringkali rusak, berbatu, atau licin saat hujan.
ADV 160 dibekali ground clearance setinggi 165 mm, dual purpose tire, dan suspensi belakang dengan sub-tank twin rear suspension. Mesin 160 cc eSP+ memberikan tenaga yang cukup untuk tanjakan curam dan jalanan tanah. Rangka double cradle-nya juga dirancang tahan banting, membuatnya tangguh melewati medan sulit.
Ironi di Kota: Dari Gagah Jadi Norak
Namun persepsi berbeda muncul saat Honda ADV 160 “dipindahkan” ke jalan-jalan kota. Di Jogja, misalnya, motor ini justru dinilai terlalu besar dan kurang praktis.
“Motornya kegedean, susah nyelip pas macet,” ujar Riko (25), pekerja swasta di Yogyakarta. “Kelihatan kayak mau touring ke Merapi, padahal cuma ngopi di Seturan.”
Bagi sebagian orang kota, motor ini terasa berlebihan. Fungsi utamanya sebagai motor “adventure” dinilai tidak relevan di jalanan aspal yang padat dan sempit. Bahkan, tidak sedikit yang melabelinya sebagai “norak”.
“Kalau lihat ADV dipakai buat ke kampus atau nongkrong, saya suka mikir: ngapain sih segede itu? Kayak maksa banget,” tambah Riko.
Nyaris Celaka karena Bodi Besar
Kritik Riko terhadap ADV 160 bukan tanpa alasan. Ia pernah hampir celaka gara-gara bersinggungan dengan motor ini di jalanan sempit Gejayan.
“Stangnya lebar banget. Waktu dia nyelip dikit buat hindari lubang, stangnya nyenggol spion motor saya sampai patah. Hampir jatuh juga,” kenangnya.
Kejadian itu membuat Riko makin yakin bahwa ADV bukan motor untuk kota. “Kayaknya lebih cocok di gunung daripada di lampu merah,” ujarnya ketus.
Satu Motor, Dua Dunia
Fenomena Honda ADV 160 menunjukkan bagaimana satu objek bisa memiliki makna sosial yang kontras di dua tempat berbeda. Di desa, ia jadi simbol gengsi. Di kota, malah bisa dianggap berlebihan.
Namun, perbedaan itu bukan semata soal motor. Ia mencerminkan jurang persepsi antara gaya hidup urban dan rural—tentang bagaimana kesuksesan dipamerkan, dirayakan, atau justru disalahpahami.
Dan mungkin, pada akhirnya, kita semua hanya ingin dihargai. Entah lewat motor, baju, atau status media sosial.
***
Sumber: Mojok.
(Queensha Jepara | 26 Juli 2025)