Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Malas Berbuah Angkuh, Kisah Perubahan Watak yang Mengejutkan

Kamis, 10 Juli 2025 | 17.58 WIB Last Updated 2025-07-10T11:11:16Z

Foto, ilustrasi seorang perempuan pemalas.

Queensha.id - Edukasi Sosial,

Di balik kebiasaan malas, tersembunyi potensi perubahan watak yang bisa mengejutkan banyak orang. Dalam keseharian, sifat malas kerap hanya dianggap sebagai bentuk kurang motivasi atau sekadar kebiasaan buruk. Namun, dalam beberapa kasus, sifat ini bisa berkembang menjadi sikap angkuh, arogan, dan bahkan destruktif terhadap hubungan sosial.

Sebut saja Dinda (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan yang dikenal dulu sebagai pribadi biasa, sederhana, dan bersahaja. Namun, perlahan, perubahan mulai tampak saat ia mulai menyepelekan tanggung jawab-tanggung jawab kecil dalam hidupnya. Tugas rumah tangga diabaikan, pekerjaan ditunda-tunda, dan komunikasi dengan orang sekitar menjadi kaku.


Malas, Awal dari Segalanya

Sifat malas yang awalnya hanya terlihat dari enggannya Dinda beraktivitas, lambat laun menggerus karakter lainnya. Ia mulai sulit diajak berdiskusi, merasa paling benar, dan menolak kritik. “Kalau dinasihati, dia langsung nyolot. Kadang malah balik nyerang. Kesannya kayak anti-nasihat,” ujar salah satu teman dekatnya yang enggan disebutkan namanya.

Perubahan itu tidak hanya terjadi di rumah, tapi juga terbawa dalam lingkungan sosial. Dinda menjadi pribadi yang suka menyuruh-nyuruh orang lain, bicara dengan nada tinggi, dan enggan berpartisipasi aktif. Namun ironisnya, saat diajak berdiskusi, Dinda justru tampil agresif dan selalu ingin menang.


Sikap Angkuh Sebagai Tembok Pelindung

Menurut Psikolog Sosial Yustina Dewi, perubahan dari pemalas ke angkuh bukanlah hal aneh. “Seseorang yang terbiasa menghindari tanggung jawab bisa membentuk pertahanan diri dalam bentuk superioritas semu. Mereka tidak ingin terlihat lemah, jadi mereka tampil angkuh dan menyerang duluan,” katanya.

Dinda, misalnya, kini sulit diajak bicara baik-baik. Setiap kritik dianggap serangan pribadi. Ujungnya? Amarah. Bukan hanya marah karena tersinggung, tapi juga karena tak mau terlihat lemah di hadapan orang lain.


Miskomunikasi dan Lingkaran Masalah

Sikap seperti itu bukan hanya berdampak pada dirinya sendiri, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya. Banyak teman yang akhirnya menjauh karena lelah dengan emosinya yang meledak-ledak. Di sisi lain, ia merasa semakin terasing dan justru semakin menutup diri dari kritik membangun.


Situasi ini menciptakan lingkaran masalah:

1. Rasa malas.

2. Menghindari tanggung jawab.

3. Merasa tertinggal.

4. Membentuk ego palsu.

5. Sikap arogan.

6. Kehilangan koneksi sosial.


Pelajaran dari Kasus Dinda

Kasus seperti Dinda bisa menjadi pelajaran penting. Terkadang, hal kecil seperti rasa malas jika dibiarkan bisa menjadi akar dari perubahan kepribadian yang lebih besar dan negatif. Kita tak bisa terus-menerus membiarkan diri dikuasai kemalasan karena dari situlah muncul benih-benih ego, kesombongan, dan konflik sosial.

Menyadari dan mengendalikan sifat malas sejak dini sangat penting, bukan hanya demi produktivitas, tetapi juga demi kesehatan mental dan hubungan antar manusia.


Berikut solusi bertahap yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi perubahan watak istri Anda:

1. Jangan Melawan dengan Emosi

Jika setiap nasihat dibalas dengan kemarahan atau serangan balik, hindari beradu argumen langsung. Emosi justru akan membuatnya makin defensif. Biarkan dia merasa Anda tetap tenang dan dewasa meskipun dia meledak-ledak.

Alihkan fokus: “Aku ngerti kamu lagi capek. Mungkin nanti kita bahas pas kamu lebih tenang, ya.”


2. Pahami Akar Masalahnya

Sifat malas yang berkembang jadi arogan seringkali berasal dari rasa tidak aman, perasaan tidak dihargai, atau kelelahan mental. Coba amati apakah ada tekanan yang membuatnya seperti itu — mungkin dari lingkungan, keluarga, atau bahkan dari Anda secara tidak sadar.

Mungkin dia merasa: “Kalau aku disuruh-suruh terus, aku gak berarti.”


3. Gunakan Bahasa Cinta, Bukan Kritik

Daripada berkata, “Kamu tuh sekarang suka nyuruh-nyuruh aja,” coba ubah menjadi,

“Aku kangen kamu yang dulu suka kerjain hal bareng-bareng sama aku.”

Kalimat yang menunjukkan kerinduan akan sikap baiknya yang dulu bisa lebih menyentuh daripada tuduhan.


4. Bangun Kebiasaan Kecil Bersama

Ajak dia melakukan aktivitas ringan berdua, seperti beberes rumah bareng 10 menit sambil muter lagu favorit, atau masak bareng. Tanpa terkesan memaksa, hal ini bisa perlahan membentuk ulang kebiasaan dan membangun koneksi emosional.


5. Gunakan Waktu Netral untuk Bicara Hati ke Hati

Pilih waktu yang tenang dan tanpa gangguan untuk bicara. Katakan hal ini tanpa menghakimi:

“Aku ngerasa kita akhir-akhir ini kayak makin jauh. Aku kangen ngobrol santai, kerja bareng, dan ketawa-ketawa kayak dulu.”

Buat dia merasa dirindukan, bukan dikoreksi.


6. Beri Ruang untuk Refleksi

Kadang, orang butuh waktu sendiri untuk menyadari perubahan dirinya. Anda bisa memberinya waktu dengan cara yang elegan — misalnya dengan menulis surat pendek atau WhatsApp yang tidak menuntut jawaban segera, tapi menggugah.


7. Jika Perlu, Libatkan Orang Ketiga yang Netral

Bila komunikasi benar-benar buntu dan dia terlalu keras mempertahankan sikap, bisa pertimbangkan konseling pasangan atau berbicara lewat orang yang dia hormati (misalnya ustazah, guru ngaji, atau figur yang ia dengarkan), asalkan tidak mempermalukannya.


Ingat: Perubahan Butuh Proses

Jangan berharap semuanya berubah dalam semalam. Fokus pada perubahan kecil tapi konsisten. Misalnya, jika dia tidak lagi marah saat Anda bantu bersih-bersih, itu sudah kemajuan besar. Hargai setiap perkembangan.

***

Sumber: BS.