Notification

×

Iklan

Iklan

Kota Ukir di Persimpangan: Jeritan Sunyi Para Pengrajin Mebel Jepara

Kamis, 10 Juli 2025 | 08.05 WIB Last Updated 2025-07-10T01:07:26Z

Foto, pengrajin mebel Jepara. 

Queensha.id - Jepara,

Di balik gemerlap reputasi Jepara sebagai “Kota Ukir”, suara lirih para pengrajin lokal mulai terdengar. Di tengah dominasi pemodal besar dan gelombang pendatang yang menguasai pasar, para pengrajin meubel tradisional Jepara mengaku kian terpinggirkan dan bahkan nyaris kehilangan tempat di tanah kelahiran sendiri.

Diskusi hangat di sebuah grup WhatsApp “Forum Kedaruratan Kemanusiaan” pada Kamis pagi membuka tabir realitas pahit yang dihadapi para pelaku industri kecil di sektor permebelan Jepara. Salah satu anggota grup, Arief Ismono, warga Lebuawu Pecangaan, menyatakan keprihatinan terhadap banyaknya pengrajin dan tukang kayu lokal yang memilih hengkang dari Jepara, tak sanggup bertahan di tengah kerasnya persaingan.

“Banyak yang kalah modal, kalah sarana, kalah jaringan pemasaran. Pendatang bisa langsung beli kayu dan produksi sendiri di pabrik mereka,” ujar Arief.


Dari Gudang Kolektif ke Pabrik Mandiri


Situasi semakin ironis ketika fasilitas yang dulu menopang pengrajin, seperti gudang kolektif untuk menyimpan produk mereka, kini justru berubah menjadi pabrik-pabrik milik pemodal besar.

Wan Abu, pengusaha meubel senior di Jepara, menyoroti fenomena ini dengan nada getir.

“Dulu gudang-gudang itu tempat menampung barang dari pengrajin, tapi sekarang malah jadi tempat produksi sendiri. Pengrajin makin terpinggirkan,” katanya.


Minim Dukungan Pemerintah


Kritik juga datang dari Rotib, seorang peternak sekaligus karyawan perusahaan mebel berlabel Penanaman Modal Asing (PMA). Ia membandingkan perlakuan pemerintah terhadap sektor pertanian dan peternakan yang rutin mendapat bantuan, sementara industri mebel seolah luput dari perhatian.

“Saya belum pernah melihat ada bantuan alat pertukangan atau sarana permebelan untuk pengrajin. Padahal ini sektor unggulan Jepara,” kata Rotib.

Ia juga menyoroti absennya komunitas formal untuk para pengrajin mebel tradisional. Yang ada justru komunitas eksportir, yang kerap bergerak di lingkaran modal besar dan pasar luar negeri.


Realitas Bisnis Era Digital

Arief pun menambahkan, di era digital ini, hanya mereka yang mampu mengikuti irama dan beradaptasi yang bisa bertahan. Kaum muda yang melek teknologi dan bisnis online mulai mengambil alih medan bisnis, namun pengrajin tradisional yang tidak mendapat dukungan berisiko tersingkir selamanya.

“Kalau tidak bisa mengikuti model bisnis digital, ya siap-siap mundur dari peredaran bisnis,” tegasnya.


Harapan yang Belum Padam

Para pengrajin dan pelaku usaha lokal berharap ada langkah nyata dari pemerintah daerah. Mulai dari bantuan alat, pelatihan, hingga pembentukan komunitas pengrajin tradisional yang inklusif dan berkelanjutan.

Tanpa itu, bukan tidak mungkin “Kota Ukir” akan kehilangan identitasnya. Nama besar Jepara sebagai pusat permebelan nasional bahkan internasional bisa meredup, tergilas zaman dan abai kebijakan.

“Kami tidak minta dilindungi berlebihan, kami hanya ingin diberi kesempatan dan sarana yang setara untuk bersaing,” tutup Rotib.

***

Sumber ' BS.