Notification

×

Iklan

Iklan

Runtuhnya Pilar Keempat Demokrasi: Ketika Media Menjadi Korban, Bukan Lagi Pengawal

Rabu, 30 Juli 2025 | 14.50 WIB Last Updated 2025-07-30T07:51:41Z

Foto, ilustrasi. Sebuah berita media online di Indonesia.

Queensha id - Jurnalistik,


Di tengah riuhnya demokrasi digital, media Indonesia menghadapi salah satu periode tergelap dalam sejarah pasca-Reformasi. Institusi yang dulu dijuluki pilar keempat demokrasi itu kini bergulat dengan kehilangan legitimasi, krisis ekonomi, disrupsi teknologi, dan tekanan politik yang membungkam. Tak hanya kredibilitas yang dipertaruhkan, tapi juga nasib ribuan jurnalis yang kini hidup dalam ketidakpastian.


Fenomena ini bukan tanpa akar. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, publik kian kehilangan kepercayaan pada media. Jurnalisme yang dahulu menjadi garda terdepan penegak kebenaran kini dituding partisan, bahkan dianggap musuh negara ketika bersikap kritis terhadap kekuasaan.


Seperti diungkap Gavin Hirst dalam Journalism Ethics at the Crossroads (2022), paradigma lama praktik jurnalisme dinilai tak lagi relevan. Ketika pandemi, disinformasi politik, dan krisis sosial merebak, media gagal merespons secara etis dan bermartabat. Di Indonesia, media tidak hanya kalah bersaing dengan kecepatan algoritma medsos, tapi juga tersandera kepentingan pemilik modal dan politik.



Antara Oposisi dan Absensi Etika


Makin hari, jarak media dengan publik justru makin melebar. Media yang kritis dicap anti-pemerintah, sedangkan yang jinak dituding kehilangan independensi. Jurnalisme kini bukan hanya berbicara soal kode etik, tapi juga tentang siapa yang menggaji redaksi dan dari mana pendanaan newsroom berasal.


Di tengah tekanan tersebut, keputusan editorial seringkali lahir bukan dari nilai, tetapi dari nilai tukar. Iklan pemerintah dan BUMN menjadi tumpuan, sementara 75 persen belanja iklan digital nasional telah dikuasai raksasa global seperti Meta dan Google. Media lokal tak berdaya. Bahkan untuk bertahan, mereka kerap mengorbankan akurasi dan integritas.



Ledakan PHK dan Naiknya Kelas Precariat


Gelombang PHK melanda industri media sejak 2023. Menurut Dewan Pers, setidaknya 1.200 pekerja media kehilangan pekerjaan dalam dua tahun terakhir. Kompas TV merumahkan 150 karyawan, CNN Indonesia lebih dari 200, dan TV One sekitar 75 orang. Bahkan SEA Today, proyek ambisius BUMN, gulung tikar di pertengahan 2025.


VIVA Group, induk ANTV dan tvOne, menjadi simbol kegagalan adaptasi. Di tahun 2024, kerugian mereka mencapai Rp 942,7 miliar, disusul PHK massal pada akhir tahun. Pendapatan yang merosot dan utang yang membengkak membuat media konvensional kian tersingkir di tengah arus digital.


Sebaliknya, Tempo Inti Media Tbk mencatat kinerja positif. Dengan laba bersih Rp 2,18 miliar di 2024, Tempo membuktikan bahwa jurnalisme berkualitas, loyalitas pembaca, dan transformasi digital perlahan bisa menyelamatkan media dari jurang kehancuran.


Namun, bukan berarti semuanya baik-baik saja. Mayoritas jurnalis kini tergabung dalam kelas baru: precariat—pekerja tanpa jaminan sosial, tanpa kontrak, dan tanpa masa depan. Survei AJI mencatat bahwa 30 persen jurnalis digaji di bawah Rp 2,5 juta, bahkan 13 persen mengalami pemotongan gaji lebih dari Rp 3 juta.



Munculnya Jurnalisme Alternatif


Di tengah krisis sistemik, beberapa media mencoba melawan arus. Project Multatuli adalah salah satu contohnya. Dengan model fundraising journalism, mereka hidup dari donasi publik dan filantropi—tanpa iklan, tanpa intervensi politik. Transparansi keuangan dan kredibilitas editorial menjadi taruhan utama.


Model ini mulai diikuti oleh sejumlah media lain yang mengembangkan sistem membership. Meski penuh tantangan—dari ketergantungan pada donatur hingga jangkauan terbatas—model ini membuka ruang independensi yang tak tergantung pada iklan pemerintah atau tekanan oligarki bisnis.



Solusi yang Mendesak


Krisis ini bukan sekadar soal bisnis media. Ini adalah krisis demokrasi. Ketika jurnalis jatuh dalam status precariat, jurnalisme investigatif ikut lenyap. Media menjadi pengekor klik, bukan pelopor fakta. Untuk itu, solusi struktural sangat mendesak.


Beberapa langkah konkret antara lain:


  • Pembentukan media pluralism fund untuk menopang media independen di daerah.
  • Penerapan pajak digital pada platform global seperti Meta dan Google, dengan alokasi untuk mendukung media lokal.
  • Regulasi ketenagakerjaan yang mengakui dan melindungi jurnalis lepas layaknya karyawan tetap.


Yang lebih fundamental, media harus membangun ulang hubungan dengan publik. Bukan sebagai objek pasar, tetapi sebagai mitra demokrasi. Jurnalisme bukan semata produk ia adalah pelayanan publik.



Penutup: Saatnya Kita Bertanya, Siapa yang Menjaga Sang Penjaga?


Jika krisis ini dibiarkan, yang hilang bukan sekadar suara media, tapi suara kita semua. Demokrasi akan berjalan tanpa pengawal, dan publik akan tersesat dalam pusaran disinformasi dan polarisasi.


Media bukan hanya mesin klik atau kanal iklan. Ia adalah institusi publik. Dan selama publik masih percaya bahwa kebenaran lebih penting dari sensasi, jurnalisme masih punya harapan untuk bangkit. Tapi pertanyaannya kini berubah: bukan hanya apa yang bisa dilakukan media, tapi apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga media tetap hidup?


***

Queensha Jepara.
Rabu, 30 Juli 2025.

×
Berita Terbaru Update