Foto, anggota DPR RI fraksi PDIP Deddy Sitorus yang menolak disamakan dengan "Rakyat Jelata". |
Queensha.id - Jakarta,
Pernyataan mengejutkan keluar dari mulut anggota DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan, Deddy Sitorus, yang menolak disamakan dengan “rakyat jelata”. Ucapan ini sontak memantik gelombang kritik publik, bahkan dianggap sebagai potret nyata mentalitas elitis yang semakin menjauh dari esensi demokrasi.
Ketua Gerakan Aktivis Penyelamat Uang Negara (GAPURA) RI, Hakim Adonara Lukman, S.H., menilai ucapan tersebut absurd dan berbahaya. Ia menegaskan, kursi parlemen bukanlah tahta, melainkan amanat rakyat yang dibiayai sepenuhnya dari keringat rakyat melalui pajak.
“Setiap gaji, tunjangan, hingga fasilitas mewah anggota dewan bukan hadiah, melainkan hasil jerih payah rakyat yang setiap hari harus menghitung rupiah demi membeli beras dan membayar listrik,” ujar Hakim, Jumat (22/8/2025).
Menurutnya, pernyataan Deddy menanggalkan jati diri sebagai wakil rakyat. Dalam demokrasi modern, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, sementara anggota legislatif hanyalah pelayan publik.
“Demokrasi kita tidak mengenal kasta. Wakil rakyat itu bukan bangsawan, melainkan pekerja politik yang digaji untuk berpikir dan bertindak demi kesejahteraan bangsa,” tegasnya.
Implikasi Sosial dan Politik
Sejumlah pengamat menilai retorika elitis seperti itu hanya akan memperlebar jarak antara wakil rakyat dan rakyat. Secara sosial, sikap diskriminatif bisa dipersepsikan sebagai pelecehan terhadap suara rakyat kecil, yang justru menjadi fondasi demokrasi.
Secara politik, narasi yang arogan berpotensi mengikis legitimasi DPR. Kepercayaan publik yang sudah rapuh bisa semakin runtuh, berdampak pada stabilitas demokrasi dan hubungan rakyat dengan institusi politik.
Refleksi Kritis
Hakim menutup kritiknya dengan sebuah pengingat keras: tanpa rakyat, DPR hanyalah gedung kosong.
“Demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan kontrak sosial. Wakil rakyat wajib setia kepada rakyat. Jika empati tercerabut, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan dingin, absurd, dan kehilangan makna,” pungkasnya.
Pernyataan elitis anggota DPR kembali membuka luka lama tentang jarak antara parlemen dan rakyat. Pertanyaan mendasar pun muncul: masihkah DPR menjadi rumah rakyat, atau sekadar panggung politik kaum elite?
***