Notification

×

Iklan

Iklan

Dari Jalanan Pati ke Layar Gawai: Seni Populer Jadi Bahasa Perlawanan Rakyat

Senin, 25 Agustus 2025 | 07.40 WIB Last Updated 2025-08-25T00:41:39Z

Foto, keresahan masyarakat Pati. Sumber Foto: Kompas id.

Queensha.id - Pati,


Gelombang keresahan rakyat Pati akibat rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen, kini menjelma menjadi nyala solidaritas yang menular ke berbagai daerah. Tidak hanya lewat aksi unjuk rasa di jalanan, protes itu juga beresonansi dalam bentuk karya seni populer hingga ilustrasi, poster, komedi, musik, hingga simbol busana yang menyebar luas di media sosial.


Demonstrasi besar-besaran pada Rabu (13/8/2025) melawan Bupati Pati, Sudewo, ternyata bukan hanya mengguncang kabupaten di Jawa Tengah itu. Resonansinya menjangkau publik luas karena isu kenaikan PBB-P2 juga muncul di Bone, Sulawesi Selatan, bahkan Cirebon, Jawa Barat.



Seni Visual sebagai Satir Politik


Ilustrator Wira Tama (34) mengunggah karya satir bertajuk “Revolusi Dimulai dari Pati” di akun Instagram @wirtams. Karyanya menggambarkan sosok pejabat berwajah gelap yang dilempari botol air mineral oleh massa, dengan dua aparat berperisai mencoba melindunginya.


Gambar itu viral, disukai lebih dari 21.900 akun, dan bahkan diminta dicetak menjadi kaus.


“Paling tidak, ini jadi penyemangat bagi mereka yang sama-sama resah dengan kebijakan semacam ini,” kata Wira saat ditemui di Jakarta (20/8/2025).


Tak hanya Wira, desainer grafis Aji Juasal Mahendra (25) juga mengunggah poster-poster politik yang lebih lugas, di antaranya bertuliskan “Hari Ini Pati, Semoga Besok Seluruh Negeri” dan “DPR Naik Gaji, Kayak Kerjanya Bener Aja”. Menurut Aji, keresahannya muncul karena kebijakan pajak langsung menghantam masyarakat kecil.



Kritik lewat Audio Visual dan Musik


Protes juga mengalir lewat konten audio visual. Komika Yudhit Ciphardian bersama aktor Indra Pramujito dan Dirga mengunggah video satir tentang transparansi pajak. Dengan gaya humor, mereka menyindir pejabat seolah wajib “menyiarkan laporan pajak keliling seperti penjual tahu bulat.”


Sementara itu, musisi Wawan Teamlo dan Jui Purwoto merilis lagu “Negeri Konoha” yang liriknya menohok: “Anda digaji rakyat, tapi menindas rakyat.” Lagu bergenre dangdut ini viral di YouTube, diputar dari warung kopi hingga grup WhatsApp, menjadi semacam yel-yel perlawanan rakyat.



Simbol Perlawanan lewat Busana


Ekspresi keresahan juga datang dari Gustika Jusuf, cucu proklamator Mohammad Hatta. Dalam peringatan HUT Ke-80 Indonesia, ia mengenakan kebaya hitam dan batik slobog—busana yang biasanya dipakai dalam suasana duka. Pesannya jelas: kemerdekaan harus dirayakan dengan ingatan terhadap janji-janji konstitusi, bukan dengan pesta simbolik semata.



Seni sebagai Cermin Rakyat


Budayawan Pati, Anis Sholeh Ba’asyin, mengingatkan para pemimpin agar bercermin pada gelombang keresahan rakyat.


“Banyak tanda pemerintah tidak lagi dipercaya rakyat. Jika tekanan makin dalam, ledakan perlawanan juga akan semakin besar,” ujarnya.


Fenomena seni sebagai medium protes bukan hal baru. Dari mural Diego Rivera di Meksiko hingga karya Andy Warhol di Amerika, seni sering menjadi suara alternatif saat rakyat merasa diabaikan. Kini, Pati menjadi episentrum baru resonansi seni perlawanan di Indonesia.


Apa yang bermula dari keresahan lokal, kini menjelma menjadi gerakan simbolis nasional—mengingatkan bahwa di balik gambar, lagu, dan tawa satir, ada jeritan rakyat yang menuntut keadilan.


***

24 Agustus 2025

×
Berita Terbaru Update