Foto, ilustrasi burung berkicau. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Dunia musik Tanah Air kembali diramaikan oleh kasus pelanggaran hak cipta. Kali ini, sebuah restoran mie di Bali menjadi sorotan setelah diduga memutar lagu tanpa izin dan tanpa membayar royalti kepada pencipta lagu. Kasus tersebut berujung serius: sang direktur restoran bahkan ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap melanggar Undang-Undang Hak Cipta.
Tindakan pemutaran lagu secara komersial tanpa royalti dinilai merugikan para musisi yang memiliki hak ekonomi atas karya mereka. Kasus ini langsung menyedot perhatian publik, termasuk kalangan musisi dan Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) yang selama ini menjadi perwakilan pemilik hak terkait.
Restoran dan Kafe Ganti Musik dengan Kicau Burung
Kasus ini menimbulkan efek domino. Rasa was-was merebak di kalangan pengusaha kafe dan restoran di berbagai daerah. Alih-alih memutar lagu, beberapa pengusaha memilih jalan unik: mengganti musik dengan suara kicauan burung agar terhindar dari tuntutan royalti.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, bahkan menyarankan para pelaku usaha untuk berhati-hati.
“Sekarang, semua lini masyarakat harus tahu bahwa memutar lagu di tempat usaha, baik kecil maupun besar, ada cost-nya, ada biayanya,” jelas Maulana.
Kendati demikian, kabar terakhir menyebutkan bahwa pemilik resto yang sempat menjadi sorotan akhirnya bersedia membayar royalti sebesar Rp 2,2 miliar.
Apa Itu Royalti?
Secara sederhana, royalti adalah imbalan yang diterima pencipta atau pemegang hak cipta atas pemanfaatan karya mereka. Menurut UU Hak Cipta Pasal 1 angka 21, royalti merupakan imbalan dari hak ekonomi suatu ciptaan atau hak terkait.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), royalti didefinisikan sebagai uang jasa yang dibayarkan atas penggunaan barang yang diproduksi seseorang atau perusahaan, termasuk karya seni seperti lagu.
Pajak di Balik Royalti
Royalti bukan hanya urusan antara musisi dan pengguna karya, tetapi juga menyangkut kewajiban perpajakan. Sesuai UU Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, royalti dikenai tarif 15% dari jumlah bruto. Sementara itu, apabila penerima royalti adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka dikenai potongan sebesar 20% dari bruto, atau sesuai tarif perjanjian pajak bilateral (P2B).
Namun, ada aturan lebih ringan bagi individu. Berdasarkan PER-1/PJ/2023, penghitungan PPh Pasal 23 untuk orang pribadi menggunakan dasar 40% dari jumlah bruto. Artinya, tarif efektif yang berlaku hanya sekitar 6%. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada para pekerja seni.
Proses Administrasi
Pemberi royalti wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23, lalu menyetorkannya ke kas negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Pelaporan dilakukan melalui SPT Masa Unifikasi pada tanggal 20. Semua administrasi, mulai dari bukti potong hingga kode billing, kini terintegrasi dalam sistem Coretax.
Harapan: Musik Kembali, Pajak Mengalir
Kasus “kicau burung di kafe” ini memang sempat membuat gaduh. Namun, di sisi lain, ia membuka kesadaran baru bahwa karya seni memiliki nilai ekonomi yang harus dihargai. Bagi musisi, kepastian royalti berarti penghargaan atas jerih payah kreatif mereka. Bagi negara, ada tambahan potensi pajak yang bisa memperkuat kas publik.
Akhirnya, semua berharap agar suara burung yang kini mengisi banyak kafe hanya menjadi fase sementara. Agar pada waktunya, musik kembali bergema, musisi tersenyum menerima royalti, dan negara pun diuntungkan dengan penerimaan pajak yang lebih sehat.
***
Sumber: Kump.