Notification

×

Iklan

Iklan

Deretan Kota yang Mengalami Pelaporan Pajak Miliaran: Antara Tunggakan, Dugaan Penggelapan dan Keraguan Prosedural

Rabu, 13 Agustus 2025 | 17.45 WIB Last Updated 2025-08-13T10:48:00Z

Foto, ilustrasi pajak.


Queensha.id - Jakarta,


Fenomena kota dan warga yang terkena “pelaporan pajak miliaran rupiah” kini muncul dalam berbagai bentuk — mulai dari tunggakan desa hingga dugaan ketidakwajaran prosedural. Berikut ikhtisar fakta dari beberapa wilayah:



Kabupaten Bojonegoro: Tunggakan Pajak APBDes Capai Rp 7,3 Miliar


Data dari KPP Pratama Bojonegoro menyatakan bahwa hingga Oktober 2024, sekitar 54 desa belum menyetorkan pajak atas pengelolaan APBDes tahun 2022 dan 2023. Total tunggakan mencapai Rp 7,32 miliar, sedangkan sebelumnya tercatat 181 desa dengan total tunggakan Rp 11,79 miliar.


Tunggakan ini mencerminkan ketidaksesuaian antara dana desa yang dikelola dan pemasukan pajak yang seharusnya masuk ke kas negara. Upaya rekonsiliasi dan koordinasi tengah dilakukan, namun ancaman penegakan hukum tetap terbuka jika tidak ada pembayaran.



Bojonegoro (Kisah Warga): Tagihan Pajak Melonjak Hingga Miliaran


Antono, seorang warga Bojonegoro, menceritakan pengalamannya melalui podcast dan kanal YouTube Pajaksmart. Ia bercerita bahwa tagihan pajaknya merangkak dari Rp 39 juta (tahun 2017) ke denda Rp 740 juta, lalu Rp 300 juta (2024), bahkan hingga mencapai Rp 7,1 miliar dan Rp 10,4 miliar.


Antono menyangsikan transparansi tarif dan prosedur pemeriksaan oleh otoritas pajak, bahkan menawarkan penyelesaian dengan membayar Rp 600 juta. Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, mencurigai tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang keliru (30% dipakai, seharusnya 20%) plus penambahan denda bulanan hingga menumpuk.



Kota Sukabumi: Dugaan Pajak Gelap dan Ilegal


Wali Kota Sukabumi, Ayep Zaki, mengungkap praktik pajak yang tak mencerminkan omzet sebenarnya. Beberapa restoran tercatat hanya menyetor pajak Rp 500 juta padahal omzet mencapai Rp 7 miliar, sementara yang omzet Rp 12 miliar hanya tercatat Rp 1 miliar.


Hal ini menunjukkan adanya potensi penggelapan pajak atau pencatatan yang tidak akurat. Zaki menegaskan bahwa pajak merupakan titipan rakyat dan harus disetorkan, bukan dipertahankan oleh pengusaha.


Selain itu, ditemukan 41 billboard tanpa izin dan tanpa membayar pajak reklame. Pemerintah kota melakukan penertiban dengan penyegelan dan ancaman pengambilalihan aset.



Catatan Tentang Sukabumi dan Kota Lain (Cengkareng, Lampung)


Sejauh ini, tidak ditemukan laporan berita valid yang menyebut kasus “dipalak pajak Rp 9 miliar di Cengkareng” atau “1 miliar di Lampung” sebagaimana disebutkan. Berita seperti itu kemungkinan belum diverifikasi atau termasuk rumor. Untuk informasi lebih valid, perlu riset lanjutan dan klarifikasi dari otoritas terkait di masing-masing kota.



Refleksi: Apa Makna di Balik “Pajak Miliaran”?


  • Sistem Pajak yang Tidak Transparan: Kasus Antono dan Sukabumi menunjukkan perlunya kejelasan tarif, prosedur pemeriksaan, dan dokumentasi yang akuntabel.
  • Pentingnya Rekonsiliasi dan Sosialisasi: Desa-desa di Bojonegoro butuh pembinaan agar tak terjebak tunggakan, sementara pelaku usaha perlu diedukasi agar pelaporan pajak sesuai omzet.
  • Pengawasan dan Penegakan Hukum: Penertiban billboard Sukabumi dan potensi denda bagi desa yang tak bayar adalah bentuk respons pemerintah atas masalah ini.



Jadi, fenomena pajak miliaran bisa berasal dari penunggakan resmi (seperti Bojonegoro), ketidakwajaran prosedural (seperti kisah warga bohong Antono), atau potensi penggelapan pajak (seperti di Sukabumi). Namun, klaim di Cengkareng dan Lampung masih butuh investigasi lebih lanjut untuk memastikan kebenarannya.


***

Sumber: Berbagai Sumber Terpercaya.

×
Berita Terbaru Update