Foto, ilustrasi pajak PBB P2 naik. |
Queensha.id - Jombang,
Tahun 2025 menjadi tahun penuh gejolak bagi ribuan warga Kabupaten Jombang. Sebanyak 5.000 warga resmi mengajukan keberatan ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang mencapai angka fantastis: 1.202%.
Kenaikan tersebut, yang berlaku sejak 2024, membuat protes serupa di daerah lain terasa tak sebanding. Bahkan, keputusan Bupati Pati yang sempat menaikkan PBB P2 sebesar 250% lalu dibatalkan, kini terlihat kecil jika dibandingkan lonjakan di Jombang.
Kaget Saat Tagihan Naik 12 Kali Lipat
Salah satu warga yang merasakan beban berat ini adalah Heri Dwi Cahyono (61). Ia memiliki dua objek pajak:
- Tanah 1.042 meter persegi dan rumah 174 meter persegi di Jalan dr Wahidin Sudiro Husodo.
- Tanah seluas 753 meter persegi di Dusun Ngesong VI.
Pada 2023, tagihan PBB-nya terbilang wajar: Rp292.631 untuk rumah di pusat kota dan Rp96.979 untuk tanah di desa. Namun, pada 2024, nominal itu melonjak tajam: Rp2.314.768 (naik 791%) untuk rumahnya, dan Rp1.166.209 (naik 1.202%) untuk tanahnya di desa.
“Dua-duanya naik semua. Jelas saya tidak mampu bayar, sampai sekarang belum saya bayar,” kata Heri, Selasa (12/8).
Protes dengan Uang Koin Segalon
Berbeda dari Heri, Joko Fattah Rochim (63) memilih aksi protes yang lebih “berisik”. Warga Jalan Kapten Tendean ini datang ke kantor Bapenda dengan membawa segala tabungan koin pecahan Rp200, Rp500, dan Rp1.000 yang dikumpulkan anaknya sejak SMP.
Koin itu ia tumpahkan di kursi loket pembayaran sebagai simbol ketidakmampuannya membayar PBB rumahnya yang naik 370%—dari Rp334.178 pada 2023 menjadi Rp1.238.428 pada 2024.
“Ini uang celengan anak saya. Saya ingin Bupati tegas, kenaikan PBB ini sangat merugikan rakyat,” tegasnya.
Bapenda: Tak Semua Naik, Tapi Ada yang Ribuan Persen
Kepala Bapenda Jombang, Hartono, membenarkan adanya gelombang keberatan massal. Ia menyebut, pada 2025 ini saja ada 5.000 pengajuan keringanan atau pembebasan pajak, sementara pada 2024 tercatat 11.000 permohonan serupa.
Hartono mengakui lonjakan ini akibat pembaruan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) hasil survei pihak ketiga pada 2022, yang ternyata banyak tak sesuai kondisi riil. Meski pendataan ulang NJOP sudah tuntas pada November 2024, perubahan baru bisa diterapkan pada 2026.
“Dari sekitar 700.000 SPPT, separuh memang naik, separuh lainnya turun. Memang ada yang naik ribuan persen,” jelasnya.
Gelombang Protes Belum Reda
Meski ada mekanisme keberatan resmi, gelombang protes di Jombang tampaknya masih akan terus berlanjut. Bagi warga, lonjakan hingga 12 kali lipat bukan sekadar angka, melainkan pukulan telak terhadap kemampuan mereka bertahan di tengah tekanan ekonomi.
Di satu sisi, pemerintah daerah berpegang pada data appraisal dan mekanisme formal. Namun di sisi lain, rakyat mempertanyakan logika kenaikan PBB yang terasa seperti “mencekik” di tanah sendiri.
***
Sumber: dtk.