Foto, aktivis asal kabupaten Pati, Ahmad Husein dan Bupati Pati, Sudewo. |
Queensha.id - Pati,
Ketika wacana penolakan kenaikan PBB tengah menggelora, langkah kompromistis yang diambil oleh aktivis Ahmad Husein memicu kontroversi yang bahkan merambah ranah hiburan hingga politik lokal.
1. Garis Waktu: Dari Protes ke Perdamaian
Husein, yang dikenal vokal menentang kebijakan Bupati Sudewo, mengejutkan publik dengan keputusan mengundurkan diri dari demo besar-besaran yang dijadwalkan pada 25 Agustus 2025, setelah bertemu dan berdamai dengan sang bupati.
2. Spekulasi dan Isu “Uang Damai”
Tak lama setelah pertemuan itu, Husein terlihat membeli sepeda motor Honda Vario 160 hitam senilai sekitar Rp 24,5 juta, yang memicu rumor bahwa itu dibeli dengan uang “damai.”
Kabarnya, beredar pula isu bahwa Husein menerima proyek untuk lingkup RT senilai Rp 125 juta sebagai semacam “mahar” agar rencana demo dibatalkan. Isu ini pertama kali beredar melalui unggahan di akun X @ranndomable_.
3. Sindiran Selebritis dan Respons Publik
Penyanyi Fanny Soegi ikut menanggapi isu ini dengan komentar pedas di kolom media sosial:
“Sayang banget, idealisme cuman dibeli Rp 125 juta wkwk.”
Komentar pedasnya ini menuai dukungan dari warganet yang merasa idealisme Husein telah digadaikan demi materi.
Husein kemudian mengonfirmasi bahwa foto dirinya bersama bupati tersebut asli, dan menyebut bahwa keputusan berdamai diambil setelah ada komitmen transparansi dari pemerintah daerah.
Namun, keputusan ini memicu perpecahan dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB). Dua tokoh penting, Teguh Istiyanto dan Supriyono (Botok), menolak keras langkah Husein, menegaskan bahwa gerakan harus tetap solid dan perjuangan dilanjutkan, meski melalui jalur konstitusional seperti Pansus Hak Angket di DPRD Pati.
4. Kritik dan Keraguan Publik
Video viral yang menampilkan Husein tampak “tepar” (diduga mabuk) di karaoke menambah bahan olokan publik. Warganet mengaitkannya dengan isu “amplop politik,” seolah idealisme Husein telah benar-benar dijual.
6. Dampak Terhadap Imej Aktivisme dan Politik Lokal
Gerakan penolakan PBB sempat memiliki momentum kuat, tetapi keputusan Husein menghadapi label “dijual” menuai kritik tajam, termasuk dari public figure. Ini sekaligus memperlihatkan betapa rentannya idealisme di hadapan godaan atau tawaran pragmatis.
AMPB, meski mengalami guncangan, menunjukkan bahwa aktivisme massa tidak bergantung pada satu sosok. Teguh dan Botok memastikan perjuangan tetap dilanjutkan dan mengawal melalui mekanisme politik formal.
Jadi, dalam satu pekan, cerita protes di Pati berubah menjadi drama politik: dari idealisme yang dipertaruhkan, kompromi kontroversial, hingga perdebatan tentang integritas aktivis.
Isu apakah “idealisme bisa dibeli Rp 125 juta?” kini menjadi simbol kegelisahan publik atas batas antara idealisme dan kompromi—di mana harga moral bisa jadi lebih mahal daripada nominalnya.
***