Notification

×

Iklan

Iklan

Jejak Kumpul Kebo di Masa Kolonial: Dari Para Gubernur Jenderal hingga Elit Eropa

Minggu, 24 Agustus 2025 | 21.35 WIB Last Updated 2025-08-24T14:36:55Z

Foto, salah satu peristiwa kumpul kebo di kos-kosan.

Queensha.id - Edukasi Sosial,


Fenomena kumpul kebo kerap dianggap sebagai perilaku menyimpang dalam kehidupan modern. Namun, jika menilik sejarah, praktik hidup bersama tanpa ikatan pernikahan ini ternyata sudah berlangsung lama di Nusantara, bahkan sejak masa kolonial Hindia Belanda.


Kala itu, banyak pejabat tinggi dan warga Belanda yang datang ke tanah jajahan memilih menjalin kehidupan domestik dengan perempuan lokal. Alasannya sederhana: membawa istri dari Eropa ke Hindia Belanda adalah kemewahan, penuh risiko perjalanan panjang, serta biaya yang sangat besar.


Sebagai gantinya, kebutuhan “teman hidup” dipenuhi dengan menjalin hubungan dengan perempuan lokal yang sering kali dari kalangan budak.



Jejak Para Gubernur Jenderal


Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743–1750) tercatat memiliki hubungan dengan seorang budak cantik yang dihadiahkan Ratu Bone. Budak itu kemudian dibaptis dengan nama Helena Pieters, tinggal di rumah van Imhoff, dan melahirkan anak-anak dari hasil hubungan tersebut.


Contoh lain adalah Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk (1777–1780). Saat tiba di Jawa, ia hidup bersama seorang budak perempuan. Dari hubungan ini lahir banyak anak yang kemudian dikirim ke Belanda.


Tak berhenti di situ, kalangan elit lain juga mengikuti jejak serupa. Herman Warner Muntinghe, penasihat Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, bahkan diketahui hidup dengan tiga budak perempuan meski telah beristri Indo-Belanda.



Raffles dan Budaya “Kumpul Kebo”


Menariknya, Raffles sendiri tak pernah mempermasalahkan gaya hidup bawahannya. Dalam masa kekuasaannya (1811–1816), praktik hidup bersama tanpa nikah menjadi hal biasa. Bahkan, temannya, Alexander Hare, dikenal memiliki “teman hidup” dari berbagai daerah, memanfaatkan kekuasaan untuk mengeksploitasi perempuan lokal.


Catatan sejarah dalam buku Raffles and the British Invasion of Java (2012) karya Tim Hannigan menyingkap bagaimana Hare menjadikan perempuan Nusantara sebagai bagian dari gaya hidup kolonial.



Dari Elit hingga Rakyat Jelata


Meski jejak paling kentara terlihat di kalangan elit kolonial, praktik ini sebenarnya juga menyebar di lapisan bawah: prajurit, pedagang, hingga pegawai biasa asal Eropa. Mereka pun memilih tinggal bersama perempuan lokal tanpa pernikahan resmi.


Masyarakat kala itu menyindir fenomena ini dengan sebutan “kumpul Gerbouw.” Dalam bahasa Belanda, Gerbouw berarti bangunan atau rumah. Istilah tersebut merujuk pada kehidupan “satu atap” tanpa ikatan resmi yang dianggap melanggar norma.



Relevansi Masa Kini


Sejarah ini menunjukkan bahwa fenomena kumpul kebo bukanlah hal baru. Praktik yang dulu berangkat dari keterbatasan dan perbedaan budaya kini masih kerap diperdebatkan di masyarakat modern, terutama dalam kaitannya dengan norma agama, hukum, dan sosial.


***

Sumber: BS.

×
Berita Terbaru Update