Foto, dusun Duplak, Desa Tempur, Kecamatan Keling, Jepara. Sumber Foto: Kompas id. |
Queensha.id - Jepara,
Dusun Duplak, Desa Tempur, Kecamatan Keling, Jepara, tampak seperti titik kecil di peta. Letaknya terpencil, sekitar 60 kilometer dari pusat kota kabupaten, tersembunyi di pelukan Pegunungan Muria yang membentang hingga Kudus dan Pati. Untuk mencapainya, dibutuhkan lebih dari sekadar kendaraan prima. Kejelian membaca tikungan sempit dan jurang dalam adalah syarat mutlak bagi siapa pun yang hendak berkunjung.
Namun, segala kerepotan itu terbayar lunas ketika hamparan sawah berundak, Kali Gondang yang jernih, serta pucuk-pucuk Muria menyambut mata. Desa Tempur sendiri sudah ditetapkan sebagai desa wisata sejak 2016. Tapi Duplak—salah satu dusunnya—menyimpan kisah yang lebih dalam, apalagi saat menjadi tuan rumah Festival Muria Raya (FMR) ke-5 pada 16–17 Agustus 2025.
Rumah Jadi Rumah Singgah
Sore itu, Muhammad Kirom, pemuda Duplak lulusan pertanian, tergopoh menyambut tamu dari Semarang dan Surakarta. Rumahnya sederhana, sofa dipinggirkan dan karpet digelar. Malamnya, rumah Kirom menjadi tempat singgah bagi 18 orang, termasuk penampil dan wartawan.
Ibunya, Mahmudah, yang biasanya menjaga privasi dapur, kali ini membuka pintu lebar-lebar. “Monggo, kamar mandinya di dalam. Maaf, kotor,” ucapnya canggung. Di sudut dapur, tiga karung kopi kering menunggu diolah.
Menjelang petang, kopi dari kebun sendiri tersaji. Setelah Magrib, hidangan utama datang: sayur asem, telur dadar, sambal, kerupuk, dan nasi pulen. Jamal, sang kepala rumah tangga, lebih banyak meladeni tamu sambil mengisap kretek. “Orang sini jarang makan daging. Lauknya seadanya, tempe atau telur. Yang penting ada sayurnya, tinggal metik di kebun,” tuturnya.
Festival dari Warga, untuk Warga
Berbeda dari festival pada umumnya, FMR berjalan dengan gotong royong. Brian Trinanda, Direktur Festival Muria Raya, menyebut, pendanaan berasal dari iuran para seniman ditambah sisa kas festival sebelumnya. Dukungan warga Duplak membuat acara lebih dari sekadar pentas seni.
“Kerelaan mereka membuka pintu rumah dan dapur sudah di luar ekspektasi kami,” kata Brian. Bahan makanan memang dilengkapi panitia, tapi warga tetap yang memasak. Kopi mereka sajikan sendiri, seakan menyatukan identitas dusun dengan denyut festival.
Di sini, warga bukan sekadar penonton. Mereka adalah bagian dari pertunjukan: menyeduh kopi, menyiapkan kasur, atau sekadar menemani obrolan. Semua laku itu menjadi “seni” yang menghidupi festival.
Pemuda Pulang, Alam Dijaga
Keindahan Duplak bukan hanya panorama, tapi juga sikap warganya. Banyak anak mudanya memilih pulang dari perantauan. Firman Jaya Hermanto (23), misalnya, kembali setelah dua tahun bekerja di pabrik garmen. Kini ia menanam 1.000 batang kopi di kebun ayahnya.
“Di sini enak, adem. Hidupnya nggak kemrungsung. Istilahnya slow living,” katanya terkekeh.
Namun di balik “adem” itu, ada keresahan: soal air, hutan, dan ekosistem. Ahmad Yudi Irawan (25), mahasiswa teknik industri, menuturkan beberapa titik mata air mulai berkurang debitnya. “Kalau pohon terus ditebang atau daunnya dipetik buat pakan, lama-lama bisa bahaya,” ujarnya.
Bersama rekannya, Masrukin (28), mereka membentuk komunitas Pemuda Arjuna. Mimpi mereka sederhana tapi mendasar: punya hutan adat sebagai cadangan air. “Menjaga alam itu penting. Melihat tanaman tumbuh subur bikin bahagia,” kata Masrukin.
Antara Seni dan Perlawanan
FMR di Duplak terasa menyatu dengan denyut perlawanan warga Muria dan sekitarnya. Bagi budayawan Anis Sholeh Ba’asyin, hal ini mengingatkan pada sejarah panjang gerakan rakyat Pati, mulai dari pemberontakan Pragola abad ke-17 hingga ajaran Samin Surosentiko abad ke-19.
Seperti aksi unjuk rasa warga Kendeng menolak tambang, warga Duplak juga menyimpan keresahan ekologis. Ritual panen kopi, suguhan kopi, hingga sesaji bunga di Situs Potrobayan, semua menjadi ekspresi perlawanan sekaligus syukur.
Kopi Pagi dari Lereng Muria
Festival berakhir, tamu-tamu pulang. Jamal melambaikan tangan dari teras rumahnya. Aroma kopi masih menempel di udara lembab pegunungan.
Di Duplak, kopi bukan sekadar minuman. Ia adalah pengikat antara warga dan tamu, antara tradisi dan seni, antara keresahan dan harapan.
“Di sini adem,” kata Firman. Kata sederhana, tapi penuh makna.
Sumber: Kompas id.
Reportase Festival Muria Raya ke-5 di Lereng Muria, Jepara