Queensha.id - Pati,
Perbedaan capaian dan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) antara Kabupaten Pati dan tetangganya seperti Jepara, Rembang, serta Blora menjadi sorotan tajam, terutama setelah Pemkab Pati menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Kebijakan ini memantik kemarahan warga dan memunculkan gelombang aksi dari gerakan Pati Bersatu, yang menyiapkan unjuk rasa besar-besaran pada 13–14 Agustus 2025. Di balik protes tersebut, publik mulai bertanya: mengapa APBD Pati jauh tertinggal dibanding daerah lain?
Bandingkan Jepara dan Rembang, Tapi Realisasi Kita Paling Rendah
Dalam beberapa pernyataannya, Bupati Pati Haryanto Sudewo mengatakan bahwa PBB-P2 untuk:
1. Pati Rp29 miliar,
2. Jepara Rp75 miliar,
3. Rembang RP50 miliar,
4. Kudus Rp50 miliar.
Oleh sebab itu, ia menilai kenaikan PBB-P2 adalah wajar untuk mengejar ketertinggalan PAD.
Namun, publik melihat kenyataan berbeda. Meski potensi besar, tingkat serapan dan realisasi PAD Pati malah tertinggal, membuat rakyat bertanya: apakah masalahnya benar pada pajak, atau justru pada pengelolaan?
Aksi Balasan Rakyat: Siap Demo 50.000 Orang
Video pernyataan Bupati yang “menantang rakyat demo” telah viral dan menyulut gerakan Pati Bersatu. Warga dari berbagai kecamatan bersatu, menyusun logistik, dan menargetkan aksi damai pada pertengahan Agustus. Mereka mengusung pesan: “Kami tidak anti pajak, tapi kami anti ketidakadilan.”
Pajak Naik Boleh, Tapi Harus Adil dan Transparan
Kenaikan PBB-P2 bisa diterima jika:
1. Didasarkan kajian ekonomi warga.
2. Disertai transparansi pemanfaatan pajak.
3. Dibarengi kinerja APBD yang efisien dan pro-rakyat.
Sebaliknya, menaikkan pajak ketika realisasi pendapatan masih jauh dari target dan kinerja birokrasi belum optimal hanya akan memperbesar jurang ketidakpercayaan.
Perbandingan APBD ini bukan untuk mempermalukan daerah sendiri, tapi untuk menjadi cermin pembelajaran. Kabupaten Pati memiliki potensi besar. Tapi tanpa manajemen yang kuat, partisipasi publik, dan transparansi anggaran, potensi itu hanya akan menjadi angka di atas kertas.
Kini tinggal pilihannya: pemerintah mau mendengar rakyat atau menantangnya kembali?
***
Sumber: BS.