Notification

×

Iklan

Iklan

Polemik Royalti Musik: Antara Hak Cipta, Beban Usaha, dan Tuntutan Transparansi

Rabu, 13 Agustus 2025 | 11.33 WIB Last Updated 2025-08-13T04:34:25Z

Foto, suasana cafe yang sudah terbiasa ada lantunan lagu.

Queensha.id - Jakarta,


Isu royalti musik tengah memanas di kalangan pelaku usaha, mulai dari pemilik gerai kuliner hingga pengelola pusat perbelanjaan. Pemicunya adalah kasus yang menimpa bos waralaba Mie Gacoan di Bali, yang ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran hak cipta karena memutar musik di gerai tanpa membayar royalti. Nilainya tidak main-main, mencapai sekitar Rp 2 miliar.


Efeknya terasa instan. Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budiharjo Iduansjah, langsung mengeluarkan instruksi ekstrem: semua gerai di bawah naungan asosiasinya diminta berhenti memutar musik.


“Kami sekarang menginstruksikan tidak memutar musik. Sebenarnya itu instruksi kami,” kata Budi usai acara JITEX 2025 di Balai Kota Jakarta, Selasa (12/8/2025).


Budi mengaku sudah mencoba bernegosiasi dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk menekan tarif royalti, namun tawaran harga yang diajukan pihaknya ditolak.


“Kami mau membayar, tapi harga yang kami ajukan ditolak. Kalau harganya tidak masuk, ya tidak mungkin kita paksakan untuk bayar,” jelasnya.



Mal Jadi Sunyi, Hanya Terdengar Langkah Kaki


Di sebuah mal besar di Jakarta Pusat, suasana terasa janggal. Biasanya, pengunjung disambut alunan musik pop atau jazz ringan. Kini, yang terdengar hanya suara langkah kaki dan percakapan orang.


Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menyayangkan situasi ini. Ia menegaskan bahwa pengelola mal justru termasuk pihak paling tertib membayar royalti.


“Kami bahkan pernah mendapat penghargaan dari Pak Menteri Hukum dan HAM sebagai asosiasi teraktif membayar royalti,” katanya.



BPKN Minta Transparansi dan Keseimbangan


Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI ikut angkat suara. Ketua BPKN, Mufti Mubarok, menegaskan royalti adalah hak ekonomi yang sah bagi pencipta lagu sesuai amanat UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun, ia mengingatkan agar regulasi dijalankan transparan, akuntabel, dan tidak memberatkan usaha kecil.


“BPKN mendukung perlindungan hak cipta, tetapi regulasinya harus seimbang, tidak membebani konsumen maupun pelaku usaha secara berlebihan, serta memastikan pencipta lagu menerima haknya secara penuh dan tepat waktu,” ujarnya.


BPKN juga mendesak LMKN membuka informasi tarif dan dasar penetapannya, membuat sistem distribusi digital agar royalti langsung diterima musisi tanpa potongan, dan meningkatkan sosialisasi aturan sejak awal.



Musisi Pun Ikut Protes


Ternyata, keresahan soal transparansi tak hanya datang dari pelaku usaha, tapi juga dari para musisi. Ariel NOAH pernah mengungkap bahwa laporan royalti yang ia terima dari LMKN masih dihitung manual menggunakan Microsoft Excel.


Armand Maulana, vokalis GIGI sekaligus Ketua VISI, menyebut sistem seperti itu rawan manipulasi dan membuat musisi sulit melacak sumber royalti mereka.



LMKN Mengaku Terbentur Biaya Teknologi


Pihak LMKN tak menampik bahwa teknologi bisa membuat distribusi royalti lebih akurat dan efisien. Namun, biaya pengembangannya dinilai sangat mahal.


“Teknologi itu punya cost tinggi. Kalau royalti yang kami kumpulkan dipakai untuk beli teknologi, jatahnya musisi justru makin kecil. Anggaran kami saja maksimal 20%,” jelas Komisaris LMKN, Bernard Nainggolan.


LMKN berharap ada campur tangan pemerintah untuk mendanai modernisasi sistem ini.


“Kalau negara mau hadir, anggarkan untuk teknologi, kami sangat bersyukur. Dengan teknologi, royalti bisa naik beberapa ratus persen,” pungkasnya.


Kini, dunia usaha berada di persimpangan. Di satu sisi, musik adalah jiwa suasana di pusat belanja dan restoran. Di sisi lain, ketidakjelasan tarif dan mekanisme royalti membuat pelaku usaha memilih diam—secara harfiah.


***

Sumber: dtk.