Notification

×

Iklan

Iklan

Putar Suara Burung pun Kena Royalti? LMKN Jelaskan Dasarnya

Selasa, 05 Agustus 2025 | 16.03 WIB Last Updated 2025-08-05T09:08:21Z

Foto, ilustrasi burung berkicau dan ketua LMKN, Dharma Oratmangun.

Queensha.id - Jakarta,


Apakah Anda pemilik kafe atau tempat usaha yang suka memutar suara alam seperti kicauan burung atau suara gemericik air? Mulai sekarang, Anda patut waspada. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa penggunaan suara burung atau instrumen alam yang direkam dan difiksasi oleh seseorang atau badan usaha tetap memiliki konsekuensi pembayaran royalti.


Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, pada Selasa, 5 Agustus 2025. Ia menyebut bahwa suara alam yang sudah difiksasikan (direkam dan dijadikan produk fonogram) adalah bentuk karya yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.


“Jika suara burung atau suara alam tersebut direkam oleh seseorang atau mungkin juga badan usaha kemudian difiksasikan, maka itu termasuk karya rekaman yang memiliki perlindungan hak terkait,” jelas Dharma.



Apa Itu Fiksasi Rekaman?


Fiksasi adalah proses merekam suara dalam bentuk permanen atau stabil sehingga bisa didengar, diputar ulang, direproduksi, atau disebarluaskan menggunakan perangkat apa pun.


Begitu suara tersebut direkam dan menjadi fonogram, hak cipta rekaman otomatis melekat pada produsennya. Maka, siapa pun yang menggunakan rekaman itu di tempat umum seperti kafe, restoran, pusat perbelanjaan, atau tempat usaha lainnya dan wajib membayar royalti kepada pemilik hak.



Lagu Internasional Juga Kena Royalti


Tak hanya suara burung atau instrumen alam, Dharma juga menegaskan bahwa lagu-lagu internasional yang diputar di ruang publik harus dibayar royalti-nya. Indonesia, melalui LMKN, memiliki kesepakatan timbal balik atau reciprocal agreement dengan lembaga sejenis di berbagai negara.


“Lagu internasional juga dilindungi, begitu pun lagu Indonesia di luar negeri,” ujar Dharma.



Lagu Instrumentalia Juga Masuk Hitungan


Seringkali, pemilik tempat usaha merasa aman karena hanya memutar musik instrumental atau suara santai non-lirik. Namun, Dharma menegaskan bahwa musik instrumental juga merupakan karya cipta yang masuk kategori wajib royalti bila diputar di ruang publik.



DPR Minta Regulasi Royalti Lebih Adil


Terkait polemik ini, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, meminta Kementerian Hukum dan HAM untuk menyusun regulasi royalti yang lebih adil dan seimbang. Menurutnya, revisi Undang-Undang Hak Cipta sedang digodok dan akan memasukkan klausul yang lebih detail tentang hak cipta dan kewajiban royalti.


“DPR mencermati dinamika di dunia permusikan, dan kami sudah minta Kemenkumham mengkaji ulang LMKN-LMKN agar lebih adil,” ucap Dasco.



Suara Alam Bukan Lagi Gratis


Dengan semakin berkembangnya industri hiburan dan konten digital, aturan royalti pun kini menyentuh wilayah yang dulu dianggap "bebas hak cipta", seperti suara alam atau musik instrumental. Bagi pelaku usaha, penting untuk memastikan bahwa audio yang diputar telah melalui proses lisensi resmi atau berada di domain publik.


Jika tidak, jangan heran jika suatu hari Anda menerima surat tagihan royalti yang meskipun yang Anda putar hanya suara burung berkicau.


***

Selasa, 5 Agustus 2025.
Reporter: Tim Redaksi Queensha Jepara.

×
Berita Terbaru Update