Foto, microphone untuk siaran radio. |
Queensha.id - Jakarta,
Polemik lama tentang royalti musik kembali memanas. Sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, setiap pemanfaatan lagu untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Di atas kertas, aturan ini tegas. Tapi di lapangan, perdebatan soal apakah radio—media yang selama puluhan tahun menjadi “panggung gratis” bagi musisi—layak dikenai kewajiban yang sama seperti kafe atau pusat perbelanjaan, masih berlanjut.
Radio: Panggung Gratis yang Melahirkan Hits
Bagi generasi 80-an hingga awal 2000-an, radio adalah “mesin penggiling hit” yang efektif. Lagu baru yang diputar berulang bisa langsung merajai tangga lagu, menaikkan penjualan kaset, CD, hingga tiket konser.
“Kalau bukan karena radio, banyak musisi Indonesia tidak akan pernah punya nama besar,” ujar seorang pengamat musik yang enggan disebutkan namanya. “Nilai promosinya tidak kalah dengan kampanye iklan besar.”
Karena itu, sebagian pelaku industri menilai beban royalti justru berpotensi membuat radio mengurangi pemutaran lagu-lagu baru, apalagi bagi stasiun kecil yang pendapatannya terbatas.
Suara Pencipta Lagu: Musik Bukan Sekadar Promosi
Namun, bagi pencipta lagu, musik adalah karya bernilai ekonomi. Lagu yang diputar di udara tidak hanya mempromosikan artis, tapi juga menjadi konten yang menghasilkan uang bagi radio melalui iklan dan sponsor.
Ketua PRSSNI, M. Rafiq, menegaskan, “Memutar lagu di radio tetap termasuk pemanfaatan komersial. Bahkan kalau sebuah kafe memutar siaran radio, pemilik kafe itu tetap wajib bayar royalti secara terpisah.”
Tarif Resmi Royalti untuk Radio
Berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM:
- Radio komersial: 1,15% dari pendapatan iklan atau iuran langganan tahun sebelumnya.
- Radio non-komersial (termasuk RRI): Rp 2 juta per tahun.
LMKN mengklaim tarif ini sudah adil, namun mengakui negosiasi teknis dengan asosiasi radio di beberapa daerah masih alot.
Bayang-bayang Boikot Lagu
Kekhawatiran pun muncul: jika radio-radio sepakat “mogok” memutar lagu tertentu, terutama dari artis baru yang dianggap tidak berterima kasih, efeknya bisa langsung terasa. Tanpa udara radio, promosi artis pemula bisa tersendat.
Bagi pengelola radio, pemutaran lagu adalah hubungan saling menguntungkan: artis mendapat promosi gratis, radio mendapat konten siaran.
Menuju Jalan Tengah
Sejumlah opsi solusi mengemuka:
- Bebas royalti untuk lagu baru selama masa promosi tertentu.
- Bagi hasil iklan dari program musik untuk pencipta lagu.
- Kolaborasi label-radio dalam paket promosi terpadu.
Polemik ini memperlihatkan tarik-menarik antara hak ekonomi pencipta dan peran radio sebagai ujung tombak promosi musik. Tanpa titik temu, ekosistem musik bisa terancam pincang. Yang dibutuhkan kini bukan hanya regulasi tegas, tapi juga ruang dialog yang memihak keberlangsungan kedua belah pihak.
Sebab, di ujung frekuensi itu, musik bukan sekadar nada—ia adalah napas industri yang butuh harmoni antara pencipta dan penyiar.
***
Sumber: MM.