Foto, kementrian keuangan Republik Indonesia, anggota DPR RI. |
Queensha.id - Jakarta,
Isu mengenai gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menyulut amarah publik. Setelah adanya kebijakan baru berupa tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan bagi setiap anggota DPR periode 2024–2029, total penerimaan wakil rakyat kini menembus lebih dari Rp100 juta per bulan.
Kebijakan ini diberlakukan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas DPR di Kalibata yang dialihfungsikan menjadi proyek rumah bersubsidi. Namun, publik menilai langkah ini justru tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin tertekan.
Gaji Pokok Kecil, Tunjangan Membengkak
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok anggota DPR relatif kecil: Ketua DPR hanya menerima Rp5,04 juta, Wakil Ketua Rp4,62 juta, dan anggota biasa Rp4,2 juta. Namun, gaji pokok hanyalah sebagian kecil dari total kompensasi.
Anggota DPR juga mendapat berbagai tunjangan: tunjangan jabatan, tunjangan kehormatan, komunikasi intensif, hingga fasilitas uang sidang, listrik, telepon, asisten pribadi, dan tunjangan beras. Kombinasi inilah yang membuat penghasilan bulanan mereka membengkak di kisaran Rp55–66 juta per bulan.
Kontroversi kian memanas sejak tambahan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan diberlakukan. Dengan jumlah anggota DPR mencapai 580 orang, negara harus menanggung sekitar Rp29 miliar per bulan atau setara Rp1,74 triliun dalam lima tahun masa jabatan.
Publik Menyoal Efisiensi
Gelombang kritik bermunculan. Banyak pihak menilai kebijakan ini tidak masuk akal, terutama karena tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat kerap rendah. Selain itu, keputusan ini muncul di tengah pemerintah gencar menggaungkan efisiensi anggaran negara.
“Bagaimana rakyat bisa percaya dengan jargon penghematan belanja, kalau DPR justru menambah fasilitas baru dengan beban triliunan rupiah?” kata seorang pengamat kebijakan publik.
DPR – Kemenkeu Saling Lempar
Alih-alih memberikan kejelasan, DPR dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) justru saling melempar tanggung jawab terkait penetapan angka tunjangan rumah Rp50 juta per bulan.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Luky Alfirman, menegaskan bahwa dana tersebut berasal dari APBN, tetapi menolak menjelaskan lebih lanjut. “Ya dari mana lagi (kalau bukan dari APBN). Tanya DPR,” ujarnya singkat.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyalahkan pemerintah. Menurutnya, angka tunjangan rumah bukan usulan DPR, melainkan keputusan Kementerian Keuangan.
“DPR tidak lagi mendapat fasilitas rumah dinas. Itu keputusannya pemerintah. Maka diberikan tunjangan agar anggota dewan bisa menyewa rumah sendiri. Standarnya jelas, sesuai standar pejabat negara. Soal angka Rp50 juta, tanyakan ke pemerintah,” tegas Misbakhun.
Publik Menunggu Kejelasan
Hingga kini, dasar penetapan angka tunjangan rumah Rp50 juta masih gelap. Apakah benar diperlukan untuk menunjang kerja legislator, atau sekadar bentuk baru pemborosan anggaran negara?
Di tengah rakyat yang harus berhemat menghadapi harga kebutuhan pokok yang terus melambung, wajar jika kebijakan ini dianggap berlebihan. Publik menanti jawaban transparan, bukan sekadar “saling lempar tanggung jawab” antara DPR dan pemerintah.
***
Sumber: Kps.