Notification

×

Iklan

Iklan

Wacana Pembubaran DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Realitas Konstitusi

Rabu, 27 Agustus 2025 | 08.10 WIB Last Updated 2025-08-27T01:11:23Z

Foto, gedung DPR RI/MPR RI.

Queensha.id - Jakarta,


Demokrasi kerap didefinisikan dengan kalimat sederhana: “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Sebagai negara demokrasi dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga representatif yang diharapkan menjadi penyambung aspirasi rakyat.


Dalam teori, DPR memegang peran strategis. Bersama Presiden, lembaga ini bertugas merancang undang-undang, menyusun anggaran, serta mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, di lapangan, kinerja DPR kerap menjadi sorotan tajam publik.


Salah satu contohnya, dalam rapat paripurna tertentu, tercatat hanya sekitar 30 anggota DPR yang hadir dari total 560 kursi yang tersedia. Angka ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana wakil rakyat benar-benar menjalankan mandat rakyat? Tidak heran jika slogan “Bubarkan DPR” kerap menggema dalam aksi demonstrasi maupun coretan di dinding jalanan.



Jejak Sejarah: Upaya Pembubaran Lembaga Legislatif


Meski wacana pembubaran DPR kerap muncul, secara konstitusional saat ini hal tersebut mustahil dilakukan. Namun, dalam sejarah Indonesia, pembubaran lembaga legislatif pernah terjadi melalui dekrit presiden.



1. Dekrit Presiden 1959 oleh Soekarno


Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante. Lembaga hasil Pemilu 1955 itu diberi mandat untuk merancang UUD baru pengganti UUDS 1950. Namun, selama tiga tahun persidangan, mereka gagal mencapai kesepakatan.
Dekrit tersebut menandai berakhirnya demokrasi liberal dan lahirnya era demokrasi terpimpin di Indonesia.



2. Dekrit Presiden 2001 oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, juga pernah mengeluarkan dekrit pada 2001. Isinya antara lain pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan kepada rakyat, serta pembekuan Partai Golkar.


Langkah Gus Dur yang dikenal kritis terhadap DPR itu dipicu dinamika politik yang memojokkan posisinya, termasuk kasus Buloggate dan Bruneigate. Namun, dekrit tersebut justru mempercepat kejatuhannya dari kursi kepresidenan, karena tidak memiliki dukungan politik yang memadai.



Wacana Kontemporer


Kini, seruan pembubaran DPR kembali terdengar, dipicu keresahan masyarakat terhadap gaya hidup mewah sebagian anggota dewan, minimnya kedisiplinan, hingga kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Meski begitu, pakar menilai jalan itu tertutup rapat oleh konstitusi.


Pasal 7C UUD 1945 hasil amandemen tegas menyebut: “Presiden tidak dapat membubarkan DPR.” Artinya, satu-satunya cara menghapus DPR hanyalah melalui amandemen UUD 1945 yang memerlukan persetujuan MPR, lembaga yang sebagian besar anggotanya justru berasal dari DPR itu sendiri.



Pandangan Pakar Politik


Pengamat politik Universitas Indonesia, Dr. Andi Yulivan, menyebut gelombang kekecewaan publik terhadap DPR sebenarnya alarm keras bagi para legislator.


“Publik sudah semakin kritis. Kehadiran slogan Bubarkan DPR adalah ekspresi frustrasi rakyat terhadap perilaku wakilnya. Jika DPR tidak segera berbenah, maka jurang ketidakpercayaan ini akan makin dalam,” ujar Andi.


Sementara itu, analis politik dari CSIS, Arya Pratama, menilai bahwa desakan pembubaran DPR lebih merupakan bentuk perlawanan simbolik ketimbang solusi praktis.


“Secara hukum, hampir mustahil DPR dibubarkan. Tetapi slogan itu menunjukkan keresahan masyarakat yang merasa tidak terwakili. Tantangan DPR adalah bagaimana membuktikan diri bahwa mereka bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat,” katanya.


Pakar hukum tata negara, Refly Harun, juga menekankan pentingnya jalur konstitusional. Menurutnya, daripada membicarakan pembubaran, publik seharusnya lebih menuntut transparansi, reformasi etika politik, dan pemilihan legislatif yang lebih bersih.


“Kalau rakyat ingin DPR yang lebih baik, maka gunakan hak pilih dengan bijak di Pemilu. Jangan pilih orang yang terbukti bermasalah. Itu cara paling demokratis dan konstitusional,” jelas Refly.



Jalan Reformasi


Pada akhirnya, wacana pembubaran DPR lebih tepat dipahami sebagai kritik keras daripada tuntutan realistis. Tantangan terbesar bagi DPR hari ini adalah memulihkan kepercayaan publik yang tergerus. Transparansi, kedisiplinan, serta keberanian menggunakan hak interpelasi dan angket menjadi jalan bagi DPR untuk mengembalikan marwahnya sebagai wakil rakyat sejati.


***

×
Berita Terbaru Update