Notification

×

Iklan

Iklan

Dari Affan Kurniawan hingga Kanjuruhan: Belasungkawa Negara, Hampa di Mata Rakyat

Jumat, 12 September 2025 | 20.08 WIB Last Updated 2025-09-12T13:09:41Z

Foto, ilustrasi. Kepercayaan rakyat menurun.

Queensha.id - Nasional,



Negara ini tampaknya tak pernah kekurangan kata-kata manis untuk menghibur luka rakyatnya. Dari tragedi Affan Kurniawan hingga Kanjuruhan, ucapan belasungkawa dan permintaan maaf terus bergulir, namun keadilan kerap tak pernah benar-benar tiba. Pertanyaannya: sampai kapan rakyat hanya diberi kata tanpa bukti?



“Maaf” yang Tanpa Nyawa


Pada 28 Agustus 2025, Affan Kurniawan, seorang pencari nafkah di sekitar DPR, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob. Presiden Prabowo langsung menyampaikan duka, Kapolri meminta maaf, dan anggota DPR yang digugat menyalurkan santunan.


Namun respons publik jauh dari puas. Banyak yang menilai semua itu sekadar panggung basa-basi: duka dibacakan, maaf dilontarkan, santunan dibagikan, tapi akar masalah dibiarkan. Reformasi prosedur keamanan tidak terlihat, dan kompensasi bagi keluarga korban sering kali tidak jelas ujungnya.


“Maaf tanpa tindakan itu hampa,” ujar seorang aktivis HAM di Jakarta.



Pola Lama, Luka Baru


Indonesia bukan pertama kali menghadapi pola ini. Tragedi Kanjuruhan 2022 menjadi contoh nyata. Ratusan nyawa hilang akibat gas air mata di stadion. Pemerintah kala itu meminta maaf dan berjanji mengevaluasi, namun investigasi independen tak pernah dijalankan penuh. Banyak aparat tetap bertugas, sementara korban hidup dengan trauma.


Situasi serupa berulang dalam kasus komentar pejabat yang meremehkan korban kekerasan seksual atau penderitaan rakyat kecil. Permintaan maaf datang cepat, tapi kebijakan korektif jarang menyusul.



Restorative Apology, Bukan Sekadar Gestur


Penelitian terbaru menegaskan, permintaan maaf politik hanya bermakna jika diikuti tindakan nyata. Riset Foran (2025) menyebutkan, tanpa kebijakan konkret, maaf hanya menjadi gestur kosong. Zoodsma dkk. bahkan menekankan perlunya restorative apology—permintaan maaf yang disertai pemulihan korban lewat kompensasi layak, transparansi, dan reformasi struktural.


Sayangnya, pejabat di negeri ini lebih lihai merangkai kata daripada memberi bukti. Mereka fasih mengucap duka, tapi gagap bertanggung jawab.



Kultur Politik yang Anti-Kritik


Menurut sosiolog Raewyn Connell, logika maskulinitas hegemonik menempatkan kepemimpinan pada sikap keras dan anti-kritik. Di Indonesia, kerendahan hati dianggap merusak wibawa, sehingga permintaan maaf yang tulus jarang muncul. Yang ada hanyalah “maaf formalitas” tanpa perbaikan struktural.


Akibatnya, legitimasi moral negara makin tergerus. Rakyat menanggapi maaf pejabat dengan sinis, bukan percaya.



Tuntutan Publik: Nyata dan Jelas


KOMPAKS, salah satu kelompok masyarakat sipil, bahkan sudah merumuskan tuntutan konkret: cabut fasilitas DPR, hentikan kekerasan aparat, dan lakukan reformasi Polri segera.


Namun tuntutan itu sering dianggap remeh, seolah sama absurdnya dengan meminta tiket konser Taylor Swift gratis. Padahal suara rakyat sangat jelas: mereka ingin keadilan yang nyata, bukan drama politik penuh kata-kata kosong.



Pertanyaan yang Tersisa


Pada akhirnya, publik hanya menunggu satu hal: apakah pemerintah berani mengambil risiko membenahi negeri ini, atau sekadar sibuk merapikan karpet merah oligarki?


Sebab jika negara terus memilih aman untuk dirinya sendiri, jangan heran bila rakyat perlahan memilih tidak percaya. “Maaf” tanpa tindakan hanyalah jeda kosong sebelum luka baru kembali dibuka.


***

×
Berita Terbaru Update