Foto, tugu Kartini Jepara, merupakan sebuah tugu atau monumen yang sering dipakai sebagai simbol atau lambang dari kota Jepara yang rakyatnya damai dan tenteram. |
Queensha.id - Jepara,
Peristiwa amuk massa dalam aksi demonstrasi yang terjadi di Jepara akhir pekan lalu terus menyita perhatian publik. Salah satu pengamat sosial asal Desa Krapyak, Kecamatan Tahunan, Jepara, Purnomo Wardoyo, turut memberikan pandangannya. Purnomo yang juga purnawirawan polisi ini bekerja dan mengabdi di Jepara selama 48 tahun sebelum purna tugas pada 2016.
Menurutnya, Jepara sejatinya memiliki tradisi damai yang diwariskan melalui kearifan lokal. Ia menekankan filosofi ngemong (merawat dan menuntun) yang semestinya diinternalisasi oleh aparat maupun elit politik dalam merespons dinamika sosial.
“Ngemong bukan sekadar meredam, tapi menciptakan ruang aman bagi aspirasi agar tidak bermuara pada kekerasan. Sayangnya, kanal aspirasi dianggap tertutup, sehingga jalanan menjadi pilihan,” jelasnya.
Pecahnya Tradisi Politik Damai
Purnomo menilai, tradisi demonstrasi di Jepara jarang sekali berujung anarkis. Mahasiswa selama ini dikenal mengusung pola aksi kultural dan religius. Namun, kali ini terjadi pergeseran yang berujung pada kerusuhan.
Ia melihat amuk massa sebagai tanda pecahnya tradisi politik damai akibat percampuran massa heterogen dan momentum emosi kolektif. “Ketika emosi kolektif mencapai titik puncak, simbol dialog kehilangan efektivitasnya,” tambahnya.
Filosofi ukir Jepara yang menekankan kesabaran, tradisi gotong royong nelayan, hingga kultur santri yang menjunjung musyawarah mestinya bisa menjadi rem sosial. Namun, “rem” itu gagal bekerja, kalah oleh intensitas emosi kerumunan.
Resonansi dari Aksi Nasional
Menurutnya, kerusuhan di Jepara juga tak bisa dilepaskan dari konteks nasional. Rentetan pembakaran gedung DPR di Jakarta dan DPRD di sejumlah daerah menciptakan efek domino psikologis.
“Jepara bukan episentrum awal, melainkan resonansi dari amuk nasional yang menemukan saluran lokalnya,” ujarnya.
Purnomo menambahkan, amuk massa tidak semata produk kehilangan kontrol, melainkan kombinasi ketidakpuasan struktural, simbolik, dan momentum emosional. Demonstrasi mahasiswa yang biasanya artikulatif berubah wajah setelah bercampur dengan kelompok emosional, termasuk suporter sepak bola.
Momentum Refleksi untuk Demokrasi Lokal
Meski demikian, Purnomo menilai kerusuhan ini bisa menjadi titik balik penting bagi demokrasi lokal. Jika elite politik gagal membaca pesan dari amuk massa, tradisi damai Jepara terancam terkikis.
Sebaliknya, bila dijadikan momentum refleksi, resolusi konflik berbasis kearifan lokal dapat menjadi model unik bagi daerah lain. Ia menekankan perlunya melibatkan tokoh lokal, ulama pesantren, sesepuh ukir, hingga komunitas nelayan dalam merajut ulang harmoni sosial.
“Demonstrasi anarkis bukan wajah asli Jepara. Itu hanya distorsi akibat akumulasi ketidakpuasan dan dinamika emosional. Kita harus kembali ke akar kearifan lokal—musyawarah, kesabaran, gotong royong—agar Jepara tetap dikenal sebagai tanah damai yang mengukir perdamaian, bukan hanya kayu,” pungkasnya.
***
Sumber: PW.
Queensha Jepara