Foto, ilustrasi penyakit kanker payudara. |
Queensha.id - Pontianak,
Rasa takut kehilangan bagian tubuh, citra diri yang berubah, hingga kecemasan akan pandangan orang lain menjadi pergulatan batin yang berat bagi perempuan penyintas kanker payudara. Kisah “Ayu” (bukan nama sebenarnya) dan banyak penyintas lain memperlihatkan bagaimana mastektomi, (operasi pengangkatan payudara), bukan hanya soal medis, tapi juga menyangkut identitas, rasa percaya diri, dan cara bertahan hidup.
Ayu, pasien kanker payudara di RSU Dokter Soedarso Pontianak, sempat menolak saran dokter untuk segera menjalani mastektomi. Ia takut suaminya memandangnya sebagai perempuan “kurang” bila hanya memiliki satu payudara. Alih-alih operasi, ia mencoba berbagai pengobatan alternatif. Namun, setelah tiga bulan kondisinya tak kunjung membaik, sang suami menyadarkan bahwa kesembuhan jauh lebih penting daripada memiliki payudara lengkap. Dengan berat hati, Ayu akhirnya menerima keputusan untuk menjalani operasi.
“Keputusan itu seperti menelan pil pahit. Tapi saya sadar, yang dipertaruhkan bukan sekadar penampilan, melainkan nyawa,” ungkapnya lirih.
Luka yang Tak Kasat Mata
Pengalaman Ayu mencerminkan dilema yang dihadapi banyak perempuan. Seperti yang ditulis Abby Gina & Atnike Sigiro (2019), perempuan penyintas kanker menghadapi tekanan berlapis: ancaman kesehatan sekaligus pergulatan batin atas makna tubuh.
Endri Kurniawati, wartawan senior Tempo yang membagikan kisahnya dalam buku Kehidupan Kedua, Memoar Penyintas Kanker (2015), menggambarkan rasa takut yang serupa. “Saya akan kehilangan satu payudara. Padahal, payudara (selain rahim) adalah salah satu pembeda perempuan dan laki-laki,” tulisnya.
Endri sempat dibanjiri tawaran terapi alternatif, dari obat herbal hingga ritual pengalihan penyakit ke kambing. Namun, waktu yang terus berjalan memaksanya memilih mastektomi. “Mereka (keluarga) mengira saya takut sakit karena dibedah. Padahal yang saya takuti adalah kehilangan penanda feminitas saya,” ujarnya.
Dampak Berkepanjangan
Penelitian membuktikan, trauma mastektomi tidak berhenti di meja operasi. Studi Álvarez-Pardo et al. (2023) mencatat banyak penyintas kanker payudara mengalami citra tubuh buruk, depresi, hingga disfungsi seksual. Bahkan, riset Lewis-Smith et al. (2018) menyebut sebagian penyintas tidak mengalami perbaikan citra tubuh hingga lima tahun setelah perawatan.
Hasil penelitian di Surabaya oleh Titin Sukartini dan Yulia Indah Permata Sari (2021) pun menunjukkan mayoritas responden merasa kehilangan simbol keperempuanan. Payudara bagi mereka bukan sekadar organ biologis, melainkan penanda kecantikan, keibuan, dan feminitas. Akibatnya, banyak yang menarik diri dari kehidupan sosial, mengubah cara berpakaian, bahkan enggan keluar rumah.
“Perempuan yang kehilangan payudara, akan dua kali tercabut dari definisi ‘normal’,” tulis Abby Gina & Atnike Sigiro. Pertama, kehilangan tubuh yang utuh sempurna. Kedua, kehilangan norma feminin yang dilekatkan pada tubuh perempuan.
Jalan untuk Bangkit
Meski berat, beberapa penyintas mampu bangkit dengan caranya sendiri. Endri, misalnya, menjadikan rasa takut mati sebagai kekuatan untuk melampaui kekhawatiran atas penampilan. “Kalau saya mati lebih cepat, bukankah saya tidak akan bisa lagi menikmati penampilan cantik?” ujarnya reflektif.
Ada pula penyintas lain yang memilih menuliskan kisahnya di blog. Tulisan itu menjadi ruang berbagi pengalaman sekaligus bentuk perlawanan terhadap narasi yang menyesatkan. “Ternyata blog itu dibaca orang dan membantu juga,” katanya, seperti dicatat dalam penelitian Abby Gina & Atnike Sigiro.
Kisah-kisah ini menegaskan, setiap perempuan punya cara berbeda untuk menghadapi trauma kehilangan payudara. Namun, benang merahnya jelas: penyintas kanker payudara belajar mendefinisikan ulang makna menjadi perempuan—bukan lagi soal tubuh utuh, melainkan keberanian untuk bertahan hidup.
***