Foto, kolase. Hasil dari pengolahan gula merah dari Desa Jatisari, kecamatan Nalumsari, Jepara. |
Queensha.id - Jepara,
Siapa yang tidak ingin memiliki usaha sendiri? Hampir semua orang tentu berharap bisa mandiri dan menyejahterakan keluarga melalui usaha yang digelutinya. Harapan itu pula yang menjadi pegangan Mustaim, seorang petani tebu asal Desa Jatisari, Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara.
Sejak beberapa tahun terakhir, Mustaim menekuni usaha gula merah tradisional. Dari usahanya itu, ia tidak hanya menghidupi keluarganya, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi setidaknya 10 warga desa sekitar.
Proses Tradisional yang Tetap Dipertahankan
Usaha gula merah di Jatisari ini masih menggunakan cara-cara tradisional. Tebu digiling dengan alat sederhana, kemudian diperas hingga keluar sarinya. Cairan itu lalu dimasak dalam tungku kawah besar selama kurang lebih 2,5 jam.
Setelah mengental dan menjadi gulali, cairan panas itu dituangkan ke wadah anyaman bambu yang oleh warga disebut tumbu. Prosesnya tidak berhenti sampai di situ. Gulali harus terus diaduk hingga mengeras, diulang berkali-kali sampai penuh, baru kemudian bisa dipasarkan.
“Kalau hasilnya kurang keras, biasanya dijual ke pabrik kecap. Tapi kalau kualitasnya bagus, langsung dibeli tengkulak untuk dijual ke pasar,” ujar Mustaim, Jumat (26/9/2025) sore.
Tantangan Modal dan Harga Pasar
Meski usaha ini memberi harapan, Mustaim tidak menutup mata akan tantangan besar yang dihadapi. Permodalan menjadi masalah utama, sementara harga gula merah di pasaran tidak pernah stabil.
“Kalau panen raya, tengkulak sering menurunkan harga dengan alasan stok melimpah. Itu yang membuat usaha seperti kami rawan bangkrut,” jelasnya.
Perhitungan Mustaim cukup sederhana namun menggambarkan realita keras di lapangan. Dari satu hektar lahan tebu, hasil panen bisa mencapai 80 ton. Jika diolah, rendemennya hanya sekitar 10 persen, atau setara dengan 8 ton gula merah. Dengan harga pasaran Rp9.000 per kilogram, maka pendapatan bersih berkisar Rp63 juta per hektar.
“Padahal biaya tebas tebu juga menyesuaikan harga gula di pasar. Jadi kalau harga gula ditekan tengkulak, kami yang paling rugi,” tambahnya.
Minim Sentuhan Pemerintah
Sayangnya, usaha yang sudah jelas memberdayakan warga ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah desa maupun daerah. Padahal, jika didukung modal dan pendampingan, usaha gula merah tradisional Jatisari berpotensi menjadi produk unggulan desa.
“Pemerintah desa tahu ada kegiatan ini, tapi belum ada bantuan atau pemberdayaan. Harapan kami, kisah ini bisa menjadi perhatian, agar pelaku usaha kecil seperti kami tidak dibiarkan berjuang sendiri,” pungkas Mustaim.
Kini, usaha gula merah di Nalumsari ibarat berlayar di lautan yang tak menentu. Di satu sisi memberi harapan, di sisi lain terombang-ambing harga pasar yang kerap dimainkan. Namun dengan ketekunan dan gotong royong warga, mereka tetap bertahan, sambil berharap ada uluran tangan dari pemerintah untuk menguatkan pijakan usaha mereka.
***
Sumber: Yusron/RN.