Notification

×

Iklan

Iklan

10 Tahun Bertahan Produksi Garam Iodium, H. Suhadak Keluhkan Mesin Cepat Rusak

Kamis, 16 Oktober 2025 | 10.33 WIB Last Updated 2025-10-16T03:49:00Z

Foto, petani garam H. Suhadak asal Jepara.


Queensha.id – Jepara,


Di tengah pasang surut industri garam nasional, sosok H. Suhadak (65) tetap konsisten menjalankan usahanya memproduksi garam beriodium di Jepara. Pria asal Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Jepara ini telah menekuni usaha pengolahan garam konsumsi sejak tahun 2014 melalui KUB Garam Iodium “Mutiara Laut”, yang menjadi satu-satunya pabrik garam beriodium di wilayah Jepara.


Setiap hari, pabrik yang terletak di pinggir Jalan Raya Kedungmalang–Jepara itu mampu memproduksi rata-rata 1,5 ton garam beriodium. Proses pengolahan dilakukan dengan sistem berurutan — mulai dari penggilingan, pengeringan menggunakan oven, pencampuran iodium, hingga pengemasan.


“Kami produksi berbagai ukuran, dari kemasan kecil untuk pasar tradisional sampai karung 20, 25, hingga 50 kilogram. Bahkan ada juga kemasan khusus sesuai permintaan pelanggan,” jelas H. Suhadak saat ditemui, Minggu (12/10/2025).



Dari Keprihatinan Jadi Peluang Usaha


Suhadak menuturkan, ide membuka usaha garam beriodium muncul dari keprihatinannya melihat potensi besar Jepara sebagai daerah penghasil garam, namun belum ada yang mengolahnya menjadi garam konsumsi siap pakai.


“Jepara ini penghasil garam, tapi waktu itu tidak ada yang mengolah menjadi garam beriodium. Maka saya dirikan usaha ini lewat kelompok usaha bersama,” ungkapnya.


Pada tahun 2017, pemerintah sempat memberikan bantuan berupa mesin pengolah dan mesin iodosasi untuk mendukung produksi. Namun, seiring waktu, peralatan tersebut mulai mengalami kerusakan.


“Mesin-mesin itu tidak tahan lama. Sekarang sudah beberapa kali kami perbaiki. Kendalanya memang di situ, peralatan cepat rusak dan butuh modal besar untuk peremajaan,” keluhnya.



Tantangan Modal dan Fluktuasi Harga


Selama satu dekade berjalan, H. Suhadak mengaku usahanya sering menghadapi situasi naik-turun. Selain karena faktor cuaca yang memengaruhi pasokan garam mentah, harga garam pun sangat fluktuatif.


“Kalau bahan baku naik, harga jual ikut naik. Tapi kalau bahan baku turun, otomatis harga juga turun. Sekarang harga garam iodium di kisaran Rp 3.500 per kilogram, kadang bisa mencapai Rp 6.500 kalau bahan baku mahal,” tuturnya.


Meski begitu, permintaan dari pelanggan tetap datang — baik dari wilayah Jawa maupun luar pulau. Kepercayaan mitra bisnis yang sudah terjalin lama menjadi alasan utama usahanya bisa bertahan.


“Ramai atau sepi tetap kami jalani. Yang penting pelanggan terlayani,” kata Suhadak dengan nada mantap.



Harapan Bantuan untuk Keberlanjutan


Kendala terbesar yang kini dihadapi adalah biaya investasi mesin produksi. Menurutnya, tanpa dukungan peralatan modern yang awet dan efisien, margin keuntungan menjadi sangat tipis.


“Saya berharap ada bantuan lagi dari pemerintah, terutama untuk mesin penggiling, oven, dan mesin iodosasi. Kalau mesin-mesin ini awet, keuntungan bisa lebih besar dan lebih banyak orang tertarik mengembangkan usaha serupa,” harapnya.


Selain garam iodium, Suhadak juga masih memproduksi garam non-iodium dan garam krosok dengan sistem sewa lahan. Diversifikasi usaha ini menjadi cara untuk menjaga agar bisnis tetap hidup.


“Kalau tidak ditopang usaha lain, produksi garam bisa berhenti. Harga tidak stabil, jadi pengusaha harus pintar memutar uang. Kalau tidak, bisa rugi,” ujarnya menutup pembicaraan.


Ketekunan H. Suhadak membangun dan mempertahankan usaha pengolahan garam beriodium selama 10 tahun menjadi contoh nyata semangat wirausaha lokal yang pantang menyerah. Di tengah tantangan modal dan teknologi, ia terus berjuang menjaga “Mutiara Laut” agar tetap berproduksi hingga demi keberlanjutan industri garam Jepara.


***

(Wartawan: Muin | Queensha.id)

×
Berita Terbaru Update