Notification

×

Iklan

Iklan

Di Halaman MK, Satu Jam Menjelang Pelantikan: Boy Jerry Sembiring dan Babak Baru WALHI

Kamis, 16 Oktober 2025 | 10.04 WIB Last Updated 2025-10-16T03:07:13Z
Foto, ilustrasi. Boy Jerry Even Sembiring.


Queensha.id – Jakarta,


Suasana Mahkamah Konstitusi sore itu, 15 Oktober 2025, terasa seperti biasanya: kaku, formal, dan tegang. Di tengah barisan birokrat dan ahli hukum, saya melihat sosok yang tak biasa yaitu tinggi, besar, dan tegap yang berdiri di halaman samping Gedung 2. Ia memegang korek api, sederhana tapi cukup untuk mencuri perhatian di tengah kesunyian beton kekuasaan.



Namanya Boy Jerry Even Sembiring


Kami berbincang singkat, hanya sekitar satu jam sebelum sejarah baru dimulai. Satu jam sebelum ia resmi dilantik sebagai Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) periode 2025–2029. Dalam sorot matanya, saya melihat campuran antara ketenangan dan kobaran energi seorang pejuang yang tahu bahwa jalan di depannya bukan jalan yang mudah.


Sore itu, di halaman MK, Boy bukan sekadar aktivis lingkungan. Ia adalah simbol dari benturan dua dunia: antara hukum yang kaku dan alam yang liar.




Urgensi WALHI: Kaki Langit Seekor Orangutan


Kenapa Boy, si anak muda besar ini, harus memimpin WALHI sekarang?
Jawabannya sederhana tapi menggetarkan: karena negeri ini berada di tepi jurang ekologis.


WALHI hadir seperti Orangutan, makhluk yang berjuang mempertahankan sisa hutan dari keserakahan manusia. Dalam konteks itulah, peran Boy menjadi krusial.


Pelindung Ruang Hidup: WALHI melindungi masyarakat adat, petani, dan nelayan dari perampasan lahan yang sering dilegalkan atas nama pembangunan.


Keadilan Ekologis: Mereka menuntut bukan hanya lingkungan yang bersih, tapi keadilan dalam pengelolaannya.


Benteng Terakhir: Di tengah gempuran regulasi pro-investor seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba, WALHI berdiri sebagai tembok terakhir yang menjaga agar alam tak sepenuhnya dikorbankan demi keuntungan.


WALHI bukan sekadar organisasi lingkungan. Ia adalah barometer kesehatan demokrasi dan nurani bangsa.



Mengaum Melawan Predator


Sejarah WALHI adalah sejarah perlawanan. Tak heran jika organisasi ini sering dianggap “penghambat pembangunan”.


Di bawah kepemimpinan Boy yang sebelumnya menjabat Direktur WALHI Riau hingga mereka menjadi jantung perlawanan atas proyek Rempang Eco-City, proyek raksasa yang dikritik karena dugaan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan.

Sikap keras itu menimbulkan risiko besar. Aktivis WALHI sering diintimidasi, dikriminalisasi, bahkan diancam fisiknya. Tapi Boy tak gentar.


Ia pernah berkata dalam satu forum, "Kami bukan anti pembangunan. Kami anti ketidakadilan yang mengatasnamakan pembangunan.”



Di sinilah WALHI berdiri: seperti Harimau Sumatera yang tak takut menghadapi pemburu.



Konflik di Dalam Rimba

Namun tantangan terbesar Boy tidak hanya datang dari luar. WALHI adalah rimba besar dengan ratusan cabang di seluruh Indonesia dan juga merupakan tempat para aktivis keras kepala berdebat soal ideologi dan strategi.


Ada faksi yang ingin WALHI lebih moderat dan bersinergi dengan birokrasi. Ada pula faksi yang menolak kompromi dan ingin WALHI tetap di jalan rakyat.


Boy harus menjadi penengah.
Ia bukan hanya pemimpin organisasi, tapi juga penjaga harmoni di tengah kawanan pejuang yang berapi-api.


Konflik di dalam WALHI bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa organisasi ini hidup dan berpikir.
Setiap keputusan diuji, setiap langkah diperdebatkan, dan itulah yang menjaga WALHI tetap tajam.



Boy dan Masa Depan Gerakan Hijau


Boy Jerry Sembiring kini menahkodai kapal besar di tengah badai industri.
Ia membawa kombinasi yang jarang: ketegasan aktivis, pemahaman hukum, dan visi ekologi yang membumi.


Tugasnya berat yaitu menyatukan ideologi, memperkuat gerakan rakyat, dan menegakkan keadilan ekologis di tengah sistem yang lebih sering berpihak pada modal.


Tapi dari pertemuan singkat kami di halaman MK sore itu, saya yakin satu hal:
ia tak akan mundur.


Boy adalah Badak Jawa terakhir yang berkulit tebal, siap ditanduk, tapi tak pernah berhenti berjalan.


“Perjuangan bukan soal menang atau kalah,” katanya sebelum kami berpisah, “tapi soal memastikan alam masih punya ruang untuk bernapas.”



Dan mungkin, di situlah makna sebenarnya dari pelantikan itu: awal dari perjuangan yang sesungguhnya.


***

Penulis: ET Hadi Saputra.
Queensha.id – 16 Oktober 2025.
×
Berita Terbaru Update