Foto, demo di Jakarta. |
Queensha.id - Opini Publik,
Ketika ribuan anak muda turun ke jalan pada demonstrasi besar-besaran tahun 2019, dan kembali memadati ruang publik, baik nyata maupun digital pada gelombang unjuk rasa Agustus 2025 lalu, muncul satu pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang dicari generasi ini?
Apakah sekadar ikut tren di media sosial, atau ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah kegelisahan eksistensial yang belum sempat kita pahami?
Dunia Dua Dimensi: Nyata dan Digital
Generasi Z—mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an adalah generasi yang hidup di dua dunia sekaligus: dunia nyata yang keras, dan dunia digital yang riuh. Mereka tumbuh bersama layar ponsel, membangun identitas lewat algoritma, dan bersosialisasi di ruang yang tanpa batas.
Namun di balik citra kreatif dan cerdas teknologi, mereka juga menyimpan luka psikologis yang dalam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kesehatan menunjukkan lebih dari 20 persen remaja usia 15–24 tahun mengalami gejala gangguan emosional di mulai dari kecemasan, depresi, hingga kelelahan mental.
Tekanan yang Tak Terlihat
Media sosial menciptakan standar semu: harus sukses di usia muda, tampil menarik, dan bahagia setiap saat.
Realitasnya, tak semua seindah unggahan di Instagram atau TikTok. Ketika kenyataan tak sesuai ekspektasi digital, banyak yang kehilangan arah dan makna hidup.
Bentuk “humor gelap” dan sad memes yang sering muncul bukan sekadar lelucon, tetapi refleksi halus dari luka batin kolektif anak muda Indonesia.
Sayangnya, generasi sebelumnya sering salah memahami ini sebagai “kecengengan”, padahal justru cara Gen Z bertahan menghadapi tekanan mental.
Jurang Antargenerasi
Banyak orangtua masih berpikir bahwa mendidik berarti memberi nasihat tanpa mendengar. Padahal, bagi Gen Z, didengar lebih penting daripada diajari.
Ketika sekolah hanya menekankan nilai akademik tanpa memperhatikan kesehatan mental, jurang antargenerasi semakin lebar.
Demonstrasi Gen Z bukan sekadar protes politik, tetapi juga ekspresi psikologis: keinginan untuk diakui, untuk didengar, dan untuk dianggap berarti.
Krisis Makna di Era Hiper-Konektivitas
Psikolog Maxwell Shimba dalam bukunya The Gen Z Psychology: Unlocking the Secrets of a Digital Generation (2024) menulis bahwa inti persoalan generasi ini bukanlah “kelemahan mental”, melainkan kekosongan makna di era hiper-konektivitas.
Gen Z menilai segala sesuatu berdasarkan nilai keadilan, keaslian, dan inklusivitas.
Namun ketika sistem sosial dan politik tidak mencerminkan nilai-nilai itu, muncul disonansi: mereka merasa tidak cocok dengan dunia yang diwariskan generasi sebelumnya.
Tantangan bagi Negara dan Masyarakat
Dengan populasi mencapai 75 juta jiwa, atau hampir 28 persen dari total penduduk Indonesia, Gen Z adalah penentu masa depan bangsa.
Kesehatan mental mereka akan sangat menentukan keberhasilan visi Indonesia Emas 2045.
Jika mereka tumbuh sebagai generasi sehat, adaptif, dan penuh empati—maka Indonesia akan memiliki sumber daya manusia unggul.
Namun jika stres, depresi, dan krisis makna dibiarkan, bonus demografi bisa berubah menjadi “beban demografi”.
Apa yang Harus Dilakukan?
-
Pendidikan harus bertransformasi.
Sekolah perlu menjadi ruang aman bagi siswa, bukan hanya tempat kompetisi. Guru dan dosen perlu memahami literasi psikologi dasar agar peka terhadap sinyal distress siswa. -
Lingkungan kerja perlu lebih manusiawi.
Banyak Gen Z keluar bukan karena malas, tapi karena tidak tahan pada sistem yang kaku dan tidak empatik. -
Orangtua perlu belajar mendengar tanpa menghakimi.
Generasi ini tidak butuh nasihat panjang; mereka butuh ruang untuk bercerita dan diterima. -
Negara harus menghapus stigma terhadap kesehatan mental.
Layanan konseling di sekolah, kampus, dan kantor perlu diperluas dan dibuat mudah diakses.
Mencari Figur dan Arah Baru
Gen Z sering kehilangan figur panutan dari generasi sebelumnya.
Bukan karena mereka menolak bimbingan, tapi karena banyak dari generasi tua gagal memahami konteks zaman dan bahasa mereka. Sementara generasi lama dibentuk oleh stabilitas dan kolektivitas, Gen Z hidup dalam dunia yang cair dan penuh perubahan.
Yang dibutuhkan bukan ceramah, melainkan keteladanan. Bukan penghakiman, melainkan kehadiran yang memahami.
Jika kita mau berhenti menghakimi dan mulai mendengar, kita akan menemukan bahwa di balik layar-layar ponsel itu ada jiwa-jiwa muda yang sedang mencari makna. Mereka bukan generasi rapuh—mereka generasi yang sedang berjuang untuk menjadi manusia di tengah dunia yang semakin kehilangan kemanusiaannya.
***
Queensha Jepara
10 Oktober 2025