Foto, salah satu adegan film "Gowok: Kamasutra Jawa (2025) dikutip dari ET Hadi Saputra, Tanah Merdeka. |
Queensha.id - Film,
Film terbaru garapan Hanung Bramantyo, berjudul “Gowok: Kamasutra Jawa” (2025), datang membawa janji besar: membicarakan pendidikan seks dalam budaya Jawa lewat tradisi gowok — sosok perempuan tua yang mengajarkan seksualitas kepada calon pengantin pria. Dari sinopsisnya saja, film ini sudah tampak berani dan menggugah, apalagi dengan embel-embel “berbasis budaya, bukan nafsu”. Namun ketika lampu bioskop padam dan layar menyala, yang muncul justru paradoks: edukasi seks dalam balutan sensualitas yang elegan, tapi kehilangan arah dan substansi.
Ambisi Besar yang Tersandung Eksploitasi Visual
Sinematografi Satria Kurnianto memang patut diacungi jempol. Pengambilan gambar yang lembut, pencahayaan temaram, serta gestur simbolik antara tubuh dan kain batik menciptakan suasana mistis sekaligus erotis. Para pemain seperti Raihaanun, Reza Rahadian, Devano Danendra, dan Lola Amaria bermain total. Bahasa Jawa ngapak, properti tradisional, dan latar budaya terasa autentik.
Namun, di balik kemasan estetis itu, terselip persoalan: film ini seperti terlalu menikmati keindahan kulit, tapi lupa mengupas makna di baliknya. Versi uncut 21+ yang digadang sebagai versi “lebih jujur” malah memunculkan kesan kalau “pendidikan seks” di sini hanyalah dalih untuk menjual sensualitas. Bukannya mengedukasi, film ini lebih mirip seperti pameran keindahan tubuh dengan alasan budaya.
“Ini bukan tentang tubuh, tapi tentang tradisi,” kata salah satu karakter dalam film. Tapi ketika penonton keluar dari bioskop, yang tertinggal justru adegan-adegan “tradisi” yang terlalu menggoda.
Latar Sejarah: Kaya, tapi Tak Tergarap Matang
Hanung menempatkan cerita di tahun 1955–1965, masa pergolakan sosial dan politik di Indonesia. Pilihan yang menarik dan seharusnya bisa membuka diskusi soal peran perempuan dalam zaman patriarki yang kaku. Namun, film ini justru kehilangan fokus karena ingin memuat terlalu banyak hal: seksualitas, feminisme, konflik sosial, hingga intrik politik ala G30S.
Alih-alih tajam, semuanya jadi setengah matang. Hubungan antara Ratri (Raihaanun) dan Kamanjaya (Reza Rahadian) yang seharusnya menggambarkan benturan antara cinta, budaya, dan kuasa malah tenggelam dalam adegan-adegan simbolik tanpa arah. Akibatnya, film terasa lebih sibuk memanjakan estetika visual ketimbang menajamkan pesan.
Feminis, Tapi Setengah Hati
Sutradara tampaknya ingin memosisikan Gowok sebagai film feminis yang memperlihatkan perempuan yang memegang kendali atas tubuh dan ilmunya. Namun, di layar, yang tampak justru perempuan sebagai objek pengajaran dan hasrat. Alih-alih memberdayakan, film ini seperti menegaskan kembali pandangan laki-laki terhadap tubuh perempuan dalam balutan “kearifan lokal”.
Ada juga karakter Liyan, sosok kemayu yang disebut mewakili tabu gender dalam budaya Jawa. Sayangnya, tokoh ini hanya jadi pelengkap eksotis tanpa ruang berkembang. Ia hadir seolah untuk memuaskan ide sutradara tentang “inklusivitas”, bukan sebagai suara yang benar-benar bermakna.
Seni atau Sensasi?
Bukan berarti Gowok: Kamasutra Jawa tidak punya nilai. Secara produksi, film ini bisa disebut salah satu karya paling berani dan eksperimental di perfilman Indonesia. Tapi keberanian ini terasa seperti langkah setengah hati dan takut dituduh vulgar, tapi juga enggan benar-benar mendidik.
Film ini akhirnya terjebak di antara dua kutub: terlalu serius untuk disebut hiburan, tapi terlalu malu-malu untuk disebut edukasi. Seperti dosen yang ingin bicara soal seks, tapi masih tersipu saat menyebut kata “tubuh”.
Kesimpulan: Cantik, Tapi Kabur Arah
Gowok: Kamasutra Jawa adalah film yang cantik dilihat, tapi sulit dicerna. Ia mengundang rasa ingin tahu, namun tak memberi jawaban. Hanung Bramantyo berhasil menunjukkan bahwa film Indonesia bisa tampil elegan dan berani membahas tema tabu. Namun, keberanian itu kehilangan taji ketika pesan moral dan filosofinya tenggelam di balik estetika sensual.
Pada akhirnya, Gowok bukanlah film yang gagal tapi film yang tersesat di antara idealisme dan komersialisme.
Ia ingin jadi jembatan antara seni, budaya, dan pendidikan, tapi malah berhenti di tengah jembatan, sibuk berpose agar terlihat indah di foto.
Film “Gowok: Kamasutra Jawa” adalah pengingat bahwa keberanian dalam berkarya bukan hanya soal menampilkan yang tabu, tapi juga tentang menyampaikan yang perlu. Karena edukasi sejati tidak berhenti di layar dan ia hidup di kepala penontonnya.
***
Sumber: ET Hadi Saputra/Tanah Merdeka.
Queensha Jepara
13 Oktober 2025