Foto, ilustrasi, seorang guru menegur dan menasehati muridnya untuk kebaikan dan mendidik. |
Queensha.id - Edukasi Pendidikan,
Dunia pendidikan kini sedang berada di persimpangan. Antara menjaga perasaan murid dan menjaga makna mendidik. Antara menjadi guru yang penuh empati, tapi juga harus berhati-hati dalam setiap kata yang diucapkan.
Isu ini kembali ramai setelah unggahan dari akun Facebook “Informasi Pendidikan Indonesia” viral, membahas realita guru zaman sekarang yang kian kompleks dan sarat tekanan.
Unggahan tersebut menyentuh sisi emosional banyak tenaga pendidik, terutama ketika menyoroti bahwa “setiap teguran guru kini harus lewat bahasa yang aman untuk hati.”
Teguran Jadi Tantangan Baru
Dulu, teguran guru dianggap bentuk perhatian. Kini, satu kalimat bisa disalahartikan sebagai bentuk kekerasan verbal atau pelecehan moral. Dalam unggahan itu tertulis:
“Kini, menegur murid harus berhati-hati, karena satu kata bisa dianggap menyakiti, satu teguran bisa jadi laporan, dan satu niat baik bisa disalahpahami.”
Bagi sebagian guru, kondisi ini menciptakan dilema. Mereka ingin menegur karena peduli, namun khawatir teguran itu berubah menjadi masalah hukum.
“Sekarang guru harus punya filter perasaan sebelum bicara,” kata Siti Aminah (39), guru sekolah dasar di Jepara, kepada Queensha Jepara.
“Dulu kita menegur dengan spontan, sekarang harus berpikir dulu, apakah kalimat ini aman atau bisa disalahpahami.”
Guru Harus Serba Bisa
Dalam unggahan lain, akun tersebut juga menulis:
“Guru zaman sekarang harus serba bisa, tapi tak boleh salah. Harus bisa jadi pengajar, pendidik, konselor, admin, editor, bahkan entertainer.”
Kutipan ini menggambarkan realita yang dihadapi banyak guru hari ini: multitasking tanpa batas. Mereka dituntut menguasai teknologi, mengisi data daring, menulis laporan evaluasi, mendampingi murid yang stres, dan tetap tampil ceria di depan kelas.
“Guru sekarang bukan cuma mengajar, tapi juga harus berperan sebagai content creator, motivator, sekaligus terapis emosi bagi anak-anak yang tumbuh di era digital,” ujar Rahman Arif (45), pengawas pendidikan di Kecamatan Tahunan.
Antara Idealisme dan Tekanan
Menurut pengamat sosial pendidikan asal Jepara, Purnomo Wardoyo, fenomena ini menunjukkan pergeseran nilai dalam dunia pendidikan modern.
“Pendidikan sekarang terjebak antara profesionalisme dan perasaan. Guru dituntut sempurna, tapi jarang diberi ruang untuk lelah. Mereka manusia, bukan algoritma,” jelasnya.
Ia menambahkan, munculnya istilah seperti “guru harus berbicara aman untuk hati” mencerminkan perubahan paradigma sosial: dari pendekatan otoritatif ke pendekatan empatik. Namun di sisi lain, hal itu juga bisa membuat guru kehilangan ruang tegas dalam mendidik.
“Kalau semua teguran dianggap salah, murid justru kehilangan figur disiplin yang bisa membentuk karakter. Pendidikan itu bukan hanya tentang ilmu, tapi pembiasaan nilai. Dan nilai tidak selalu disampaikan lewat kata lembut,” ujar Purnomo.
Di Tengah Digitalisasi dan Dehumanisasi
Unggahan yang juga menyita perhatian adalah “Ketika Murid Menjadi Data dan Guru Menjadi Algoritma.” Di era digital, proses belajar-mengajar kerap terukur lewat angka, grafik, dan metrik.
“Murid tak lagi sekadar individu dengan potensi unik, tapi sering kali hanya tampak sebagai data. Guru pun dituntut seperti algoritma yang efisien dan cepat,” tulis akun tersebut.
Bagi sebagian pendidik, sistem digitalisasi memang memudahkan administrasi. Namun di sisi lain, sentuhan kemanusiaan dalam pendidikan mulai tergerus.
“Teknologi itu alat, bukan tujuan. Kalau semua diukur dengan data, kita kehilangan makna sejati dari pendidikan itu sendiri — yaitu membentuk manusia,” tegas Purnomo.
Senyum yang Tak Selalu Mudah
Meski dibayangi tekanan, banyak guru tetap menjalani peran mereka dengan ketulusan. Dalam unggahan lain, terselip kalimat yang menohok:
“Profesional itu ketika guru tetap tersenyum meski diuji dari banyak arah. Tapi jarang yang menanyakan: ‘Guru, kamu baik-baik saja?"
Sebuah pengingat lembut bahwa di balik senyum seorang guru, ada perjuangan dan kesabaran yang tak selalu terlihat.
Karena pada akhirnya, seperti yang tertulis di akhir unggahan itu:
“Guru sejati tak hanya profesional di depan kelas, tapi juga di hadapan ujian hidup yang datang bertubi-tubi. Senyum mereka bukan topeng tapi itu bentuk ketulusan yang tak ternilai harganya.”
***
(Queensha Jepara / 17 Oktober 2025)