Foto, Suryana Miharja - Peneliti CSR dan Keberlanjutan. |
"Indonesia Kaya Sumber Daya, Tapi Miskin Integrasi Industri"
Queensha.id – Opini Publik,
Hilirisasi. Kata yang kini menjadi mantra baru di hampir setiap pidato pejabat tinggi negara. Dari nikel di Sulawesi hingga bauksit di Kalimantan, semua dibingkai dalam narasi besar “kemandirian ekonomi nasional”. Namun, ketika giliran timah untuk komoditas yang menjadikan Indonesia produsen terbesar kedua dunia setelah Tiongkok hingga cerita itu berubah getir.
Alih-alih menjadi simbol kesuksesan industrialisasi, hilirisasi timah justru terjebak dalam regulasi, tata niaga yang tumpang tindih, dan visi industri yang belum utuh.
Makna Hilirisasi yang Tergelincir di Lapangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba memang tidak menyebut istilah “hilirisasi”. Namun pasal 102 dan 103 secara tegas mengamanatkan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Secara teori, Indonesia tidak boleh berhenti di tahap menambang dan melebur. Bijih timah semestinya diolah menjadi produk bernilai tinggi: tin solder, tin plate, atau tin bronze dan bahan vital bagi industri elektronik, kemasan, hingga otomotif.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. PT Timah Tbk, BUMN penguasa tambang timah nasional, memang memiliki anak usaha, PT Timah Industri, untuk memproduksi turunan logam. Tetapi unit usaha itu terus merugi.
Dua hal menjadi biang keladi:
- Kerumitan regulasi yang justru memutus rantai pasok internal.
- Ketiadaan integrasi geografis dan logistik antara pabrik dan sumber bahan baku utama.
Bursa Timah: Alat Transparansi yang Berubah Jadi Jebakan
Sejak Permendag Nomor 44 Tahun 2014 diterbitkan, semua transaksi timah wajib dilakukan melalui Bursa Timah Indonesia (ICDX). Tujuannya mulia: menertibkan perdagangan dan mencegah tambang ilegal.
Namun aturan itu berbalik arah. Anak perusahaan BUMN kini harus membeli bahan baku dari induknya sendiri melalui bursa, dengan harga pasar yang fluktuatif. Akibatnya, biaya produksi meningkat, margin menyusut, dan daya saing hilang.
Sistem yang seharusnya menjamin transparansi malah menciptakan jebakan sistemik bagi hilirisasi. Ironisnya, regulasi yang dilahirkan untuk mendukung nilai tambah, justru memotong rantai efisiensi industri.
Hilirisasi Tanpa Hulu: Ketergantungan pada Pasir Timah Rakyat
Kondisi ini makin pelik setelah PT Timah Tbk menaikkan harga beli pasir timah kadar 70 persen dari Rp260 ribu menjadi Rp300 ribu per kilogram, pasca-demonstrasi warga pada 6 Oktober 2025.
Kenaikan harga itu seolah menjadi solusi jangka pendek. Namun di sisi lain, langkah tersebut memperlihatkan ketergantungan BUMN tambang pada penambang rakyat dan mitra offtake melainkan bukan pada tambang yang dikelola secara mandiri dan terintegrasi.
Lebih tragis lagi, bijih yang dibeli dari luar sudah bersih dari mineral ikutan seperti monasit, xenotim, zirkon, dan ilmenit — padahal mineral-mineral inilah yang menyimpan potensi nilai tambah terbesar, terutama untuk industri logam tanah jarang (rare earth elements).
Artinya, Indonesia terus kehilangan peluang emas untuk menguasai rantai pasok industri teknologi tinggi — dari baterai hingga semikonduktor.
Menata Ulang Arah Hilirisasi
Hilirisasi sejati bukan sekadar membangun smelter atau mengekspor logam murni. Ia harus berarti membangun ekosistem industri terpadu: dari tambang, pemurnian, hingga manufaktur turunan.
Negara perlu memberi ruang bagi BUMN tambang untuk memiliki dua izin eksportir terdaftar (ET) dan satu untuk logam dasar, satu lagi untuk produk industri hingga tanpa harus melalui mekanisme bursa yang menguras biaya.
Selain itu, regulasi perlu mendorong integrasi vertikal dan mengalokasikan sebagian royalti timah untuk riset serta pengembangan produk turunan, bukan hanya untuk menutup defisit APBN.
Visi yang Hilang di Tengah Retorika
Indonesia tidak kekurangan cadangan timah. Yang kurang adalah visi industri dan keberanian untuk menata regulasi.
Selama kebijakan masih berhenti pada tataran slogan dan saling silang kewenangan antarinstansi, hilirisasi akan terus menjadi “omon-omon” atau gema kosong dari cita-cita kemandirian yang tak kunjung terwujud.
“Hilirisasi seharusnya bukan hanya soal logam, tapi soal logika. Tanpa integrasi dan keberpihakan, yang hilir justru rakyat, bukan nilai tambahnya,” ujar Suryana Miharja, peneliti CSR dan Keberlanjutan.
***
Wartawan: Redaksi Queensha.id.
Sumber: Bangkapos Tribunnews.
Oleh: Suryana Miharja - Peneliti CSR dan Keberlanjutan.
Jakarta, 21 Oktober 2025.