Foto, ilustrasi. Seorang ibu menasehati anak perempuan agar kelak tidak minta menikah muda. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Di tengah arus media sosial yang sering menampilkan pernikahan muda sebagai sesuatu yang manis dan ideal, muncul pesan bijak yang viral: “Kalau bisa jangan menikah di usia muda. Belajarlah baik-baik, capai cita-cita, dapatkan pekerjaan yang baik, kumpulkan uang, beli rumah dan mobil, baru pikirkan menikah.”
Pesan ini menyoroti pentingnya kemandirian seorang perempuan sebelum memasuki pernikahan, agar tidak sepenuhnya bergantung pada pasangan. Sebab, menikah di usia muda tanpa kesiapan finansial dan mental seringkali berujung pada penyesalan.
Realita Pernikahan Muda
Banyak perempuan yang menikah di usia belasan hingga awal dua puluhan mengaku kaget dengan kenyataan hidup berumah tangga. Rutinitas yang terbatas pada urusan rumah, suami, dan anak seringkali membuat hidup terasa sempit.
Jika mendapat suami yang baik dan bertanggung jawab, tentu hal itu menjadi berkah. Namun bagaimana bila tidak? Ketika suami kehilangan pekerjaan, berselingkuh, atau menghadapi penyakit berat, perempuan yang tidak mandiri akan terpuruk bersama anak-anaknya.
Pentingnya Kemandirian Sebelum Menikah
Pernikahan seharusnya menjadi penyatuan dua individu yang sama-sama siap lahir batin, bukan hubungan ketergantungan. Dengan memiliki pekerjaan, penghasilan, dan tabungan sendiri, seorang perempuan akan memiliki dua kebahagiaan:
- Memiliki suami yang dicintai.
- Memiliki kekuatan ekonomi yang bisa menopang dirinya jika badai rumah tangga datang.
Kemandirian ini bukan berarti melawan peran istri, tetapi menyiapkan diri agar tetap kuat saat diuji kehidupan.
Pandangan Ulama: Kesiapan Lebih Penting dari Usia
Menurut Ustaz Abdul Somad (UAS), Islam tidak menentukan batas usia tertentu untuk menikah, tetapi menekankan kesiapan lahir dan batin.
“Menikah muda itu boleh, tapi tidak wajib. Yang wajib adalah siap — siap iman, siap ilmu, dan siap ekonomi,” ujar UAS dalam salah satu kajiannya.
Sementara KH. Quraish Shihab menegaskan bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta dan nafsu, melainkan tanggung jawab besar yang menuntut kematangan berpikir.
“Kalau hanya karena cinta lalu menikah, tanpa kesiapan ilmu dan mental, maka rumah tangga bisa rapuh,” ungkapnya dalam tafsir Al-Mishbah.
Jadi, pernikahan memang ibadah yang mulia, tetapi bukan perlombaan siapa yang paling cepat. Perempuan berhak mengejar ilmu, karier, dan kebahagiaan pribadinya sebelum menjadi istri dan ibu. Karena sejatinya, perempuan yang kuat dan mandiri akan menjadi istri yang berharga, bukan istri yang bergantung.
Dan ketika akhirnya menikah, ia tak hanya membawa cinta, tapi juga kekuatan — kekuatan untuk tetap berdiri, meski dunia tak selalu bersahabat.
***