Queensha.id - Opini Publik,
Sore ini, gawai saya bergetar. Sebuah pesan dari senior saya, Prof. Sri Edi Swasono, masuk ke layar. Isinya adalah tulisan klasik dari Bapak Bangsa, Mohammad Hatta: “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya.”
Almarhum Bung Hatta dan juga merupakan mertuanya yang menulis artikel itu pada 10 Januari 1934.
Membacanya hari ini terasa seperti menatap cermin masa kini. Tulisan berusia lebih dari sembilan dekade itu seolah ramalan yang tak pernah selesai ditebus. Sebuah jeritan abadi dari ekonomi rakyat yang terus terengah-engah di bawah tekanan sistem.
Barometer: Rakyat Merana
Dalam tulisannya, Bung Hatta menggambarkan krisis ekonomi dengan sangat tajam. Ia menulis: penghidupan rakyat semakin hari semakin sulit—penghasilan menipis, simpanan menipis, dan pada akhirnya, harapan pun ikut menipis.
Indikator yang digunakannya sederhana, tapi menggigit: rumah gadai.
Dulu, di masa krisis, pegadaian justru sepi. Bukan karena rakyat makmur, tapi karena mereka sudah kehabisan barang untuk digadaikan. Tak ada lagi harta yang bisa ditukar untuk bertahan hidup. Rakyat mencapai titik nol.
Dari situ, Hatta menyebut lahirnya “krisis dalam krisis.” Orang-orang di-PHK, buruh kehilangan kerja, hingga kaum terpelajar berbondong-bondong menjadi pedagang kecil. Mereka menjual apa pun yang bisa dijual dari tenaga hingga keterampilan.
Namun hasilnya tragis: penjual melimpah, pembeli berkurang. Daya beli (koopkracht) runtuh. Upaya mandiri itu hanyalah “penundaan bahaya”, karena modal yang tersisa akan lenyap dalam hitungan bulan.
Potret itu, sayangnya, bisa kita lihat lagi hari ini. Bedanya, bukan di pasar tradisional, melainkan di dunia digital. Semua orang berjualan online, menjadi pengemudi ojek daring, atau membuka jasa serabutan di platform digital. Semuanya berebut rezeki dari porsi yang sama sempitnya. Ekonomi rakyat kembali tercekik, hanya dengan wajah baru.
Politik yang Salah Arah
Bung Hatta tak berhenti pada keluhan. Ia menunjuk sumber masalahnya secara terang: politik ekonomi yang salah arah.
Pemerintah kolonial, tulisnya, selalu menilai kemakmuran dari keberhasilan perusahaan-perusahaan besar—bukan dari kesejahteraan rakyat kecil. Rakyat dianggap sekadar pelengkap, bukan pusat kebijakan.
Lebih parah lagi, pemerintah saat itu menerapkan kebijakan bezuiniging (penghematan) yang membabi buta. Kebijakan yang justru menekan daya beli rakyat hingga ke titik nadir. Akibatnya, petani dan buruh terjepit dua kali: harga jual hasil bumi jatuh, sementara kebutuhan pokok melonjak. Rakyat yang sudah miskin, kian terbenam.
Pembangunan pun tak luput dari kritiknya. Jalur kereta dan jalan raya dibangun bukan untuk menghubungkan rakyat, melainkan untuk mengangkut hasil bumi ke pelabuhan dan demi perusahaan besar.
Pertanyaan Hatta di tahun 1934 itu kembali relevan kini:
“Apakah proyek raksasa kita benar-benar membuka rezeki bagi petani dan nelayan, atau sekadar memuluskan arus investasi korporasi?”
Jangan sampai Indonesia hanya berganti bendera, tapi tetap berpikir seperti penjajah: menomorsatukan modal, menomorduakan rakyat.
Solusi Hatta: Kembalikan Kedaulatan Rakyat
Hatta, sang arsitek Pasal 33 UUD 1945, tidak hanya mengkritik. Ia menawarkan tiga pekerjaan besar untuk menegakkan kembali kedaulatan ekonomi rakyat:
1. Menciptakan Produktivitas Baru
Krisis tidak bisa diatasi dengan menjual kembali barang yang sudah ada. Harus lahir nilai tambah baru, melalui inovasi dan produksi nyata.
2. Modernisasi Pertanian
Jalan kebahagiaan rakyat, kata Hatta, terletak pada kemampuan mereka menghasilkan makanan sendiri dengan cara modern dan berdaulat.
3. Pemerataan dan Pemindahan Penduduk
Hatta mengusulkan volksverhuizing—pemindahan penduduk besar-besaran yang terencana dari Jawa ke pulau-pulau luas seperti Sumatera dan Kalimantan. Tanah-tanah luas itu seharusnya menjadi ruang hidup produktif bagi rakyat, bukan lahan konglomerasi raksasa.
Hatta menolak “politik tambal sulam” dan menuntut arah pembangunan yang berpihak total kepada rakyat. Prinsipnya jelas:
Kekayaan alam harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir elite.
Jeritan yang Belum Usai
Jika hari ini daya beli rakyat masih lemah, dan ketimpangan ekonomi masih menganga, berarti kita belum menuntaskan tugas sejarah yang diwariskan oleh Hatta.
“Ekonomi rakyat dalam bahaya” bukan lagi peringatan masa lalu, tapi kenyataan masa kini.
Jeritan tahun 1934 itu masih menggema. Dan selama kita masih membiarkan politik ekonomi melayani kepentingan segelintir orang, jeritan itu akan terus abadi.
***
Oleh: ET Hadi Saputra, Pengamat Hukum
Queensha Jepara, 21 Oktober 2025.