| Foto, sampul Album Minoritas, Slank judul Jinna. |
Queensha.id - Musik,
Tahun 1996 menjadi salah satu fase paling jujur dalam perjalanan Slank. Di tengah aroma pemberontakan dan kritik sosial yang kuat, band asal Gang Potlot ini melahirkan lagu berjudul “Jinna (Belasan Dalam Pelarian)”. Sebuah karya yang bukan hanya lagu, tapi potret kelam kehidupan remaja urban yang terpinggirkan oleh sistem sosial dan keluarga yang hancur.
Dibalut irama rock and roll yang enerjik, “Jinna” menyuguhkan kisah getir tentang seorang gadis belasan tahun yang mencari pelarian dari rumah yang tak lagi memberi kasih.
“Jinna gadis belasan, keluarganya broken home,
punya papa preman, dan maminya… oh-oh.”
Lirik ini membuka kisah tragis tentang realita yang banyak luput dari perhatian: anak-anak muda yang kehilangan arah karena retaknya fondasi keluarga. Ketika rumah tak lagi menjadi tempat pulang, jalanan pun berubah menjadi pelarian dimana tempat mereka mencari perhatian, kasih sayang, atau sekadar ruang untuk diakui.
Slank tak berhenti di situ. Mereka menelanjangi kenyataan yang lebih pahit: bagaimana pelarian itu perlahan berubah menjadi kehancuran.
“Mulai akrab dengan ganja, dan lakukan kebebasan sex…”
Baris ini bukan glorifikasi, melainkan peringatan. Slank menggambarkan lingkaran gelap yang sering kali menyedot remaja jalanan yakni narkoba, seks bebas, dan eksploitasi. Dalam lagu ini, Jinna hanyalah satu nama dari ribuan wajah muda yang tersesat di antara bisingnya kota dan sepinya kasih sayang.
Bagian paling menyayat justru datang di penghujung lagu:
“Jinna duduk termenung di trotoar jalanan,
tatap mata tak cerminkan harapan,
aku hanya melihat dari balik kaca mobilku,
andai aku bisa lakukan sesuatu.”
Kalimat ini terasa seperti tamparan bagi setiap pendengar. Slank menempatkan kita sebagai saksi pasif pada orang-orang yang lewat, melihat penderitaan dari balik kaca mobil, namun tak berbuat apa-apa. Lagu ini, dengan caranya yang lugas dan berani, memaksa kita bertanya: di mana tanggung jawab sosial kita terhadap generasi muda yang terluka?
Ditulis oleh Bongky Ismail, Kaka, Bimbim, Burman Siburian, dan Indra Chandra Setiadi, lagu “Jinna” adalah bentuk empati dan kritik sosial yang kuat. Ia berbicara tentang realitas jalanan, tentang anak-anak yang bukan jahat, tapi tersesat karena tak pernah diselamatkan.
Hampir tiga dekade berlalu, kisah “Jinna” masih terasa nyata di banyak sudut kota: di kolong jembatan, di lampu merah, di wajah-wajah muda yang kehilangan arah. Slank telah menuliskannya dengan lantang yang merupakan sebuah jeritan untuk generasi yang terlupakan, agar tak lagi ada “Jinna” berikutnya yang terpaksa belajar hidup dari kerasnya jalanan.
***
Queensha Jepara
25 Oktober 2025