Foto, ilustrasi yang dikutip dari unggahan akun Twitter ET Hadi Saputra. |
Queensha.id – Editorial,
Selama puluhan tahun, Indonesia memegang teguh prinsip dukungan terhadap kemerdekaan Palestina melalui Solusi Dua Negara. Sikap ini diwarisi dari amanat konstitusi dan nilai kemanusiaan universal yang juga sejalan dengan ajaran Islam. Namun, kini muncul desakan baru: apakah “Solusi Dua Negara” masih relevan, atau justru telah menjadi penghalang keadilan bagi rakyat Palestina?
Pengamat hukum ET Hadi Saputra menilai, sudah saatnya Indonesia berani meninggalkan narasi lama tersebut. Menurutnya, Solusi Dua Negara bukan lagi solusi, melainkan “retorika diplomatik” yang memperpanjang impunitas (kekebalan hukum) Israel.
“Indonesia harus beralih dari narasi politik ke narasi hukum internasional. Dunia tidak butuh lagi seruan damai yang kosong, tetapi tuntutan hukum terhadap pelaku kejahatan perang,” tegasnya dalam opininya berjudul Kematian Hukum di Palestina: Tinggalkan Solusi Dua Negara? yang dimuat di tanahmerdeka.com.
Solusi Dua Negara yang Berubah Jadi Legitimasi Pelanggaran
Dalam perspektif hukum internasional, Solusi Dua Negara seharusnya melahirkan pembagian wilayah yang adil. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Hadi menyebut ada tiga pelanggaran serius yang menjadikan konsep tersebut tidak lagi sah secara moral maupun hukum:
-
Pelanggaran Hukum Pendudukan
Perluasan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat bukan hanya pelanggaran politik, tapi termasuk kejahatan perang di bawah Statuta Roma ICC. Negara pendudukan dilarang memindahkan populasi sipilnya ke wilayah yang diduduki. -
Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Serangan militer yang menewaskan ribuan warga sipil dan penghancuran sistematis infrastruktur kemanusiaan di Gaza masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan berpotensi genosida. -
Apartheid Struktural
Sistem pemisahan hak-hak sipil dan mobilitas warga berdasarkan etnis dan agama di wilayah pendudukan memenuhi unsur hukum internasional tentang kejahatan apartheid.
“Dengan fakta hukum ini, Indonesia tidak boleh lagi mempromosikan Solusi Dua Negara. Setiap hari yang berlalu dalam diam berarti memberi waktu kepada pelanggar hukum untuk terus beroperasi,” tegas Hadi.
Dari Diplomasi Seruan ke Diplomasi Penuntutan
Hadi mengajak Indonesia untuk mengubah arah diplomasi luar negerinya: dari diplomasi seruan moral menuju diplomasi penuntutan hukum. Ada tiga langkah utama yang ia tawarkan:
1. Memimpin Koalisi Penuntutan Hukum Internasional
Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar dan bangsa yang menghormati hukum, harus berani mendorong kasus kejahatan perang di Palestina ke Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
“Indonesia harus mendukung penuh ICC untuk mempercepat investigasi dan mengeluarkan surat penangkapan terhadap pelaku kejahatan perang,” katanya.
Hadi juga menilai Indonesia dapat memanfaatkan peran di Gerakan Non-Blok (GNB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk membentuk Tim Jaksa Ad-Hoc Internasional guna mengumpulkan bukti pelanggaran secara sistematis.
2. Dorong Solusi Satu Negara Berbasis Hak Asasi Manusia
Jika Solusi Dua Negara telah gagal secara fundamental, maka alternatifnya adalah Solusi Satu Negara yang menjamin kesetaraan hak sipil dan politik bagi semua warga, tanpa diskriminasi etnis atau agama.
“Solusi Satu Negara adalah konsep sulit, tetapi hanya itu yang mampu menjamin keadilan individual dan sosial di tanah Palestina,” ujarnya.
3. Tolak Hak Veto yang Merusak Hukum
Hak veto di Dewan Keamanan PBB kerap digunakan negara adidaya untuk menghalangi upaya sanksi terhadap Israel. Hadi menyebut praktik ini sebagai penghinaan terhadap Piagam PBB.
“Hak veto yang menutup pintu keadilan adalah pelanggaran moral global,” tegasnya.
Indonesia dan Keadilan Universal
Hadi menutup opininya dengan seruan agar Indonesia kembali pada semangat keadilan sosial bagi seluruh umat manusia, sebagaimana amanat konstitusi.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus diterjemahkan menjadi keadilan universal bagi Palestina,” tulisnya.
Ia menegaskan, Indonesia harus memimpin pergeseran paradigma dunia: dari kompromi politik menuju akuntabilitas hukum.
“Kita tidak hanya mengirim bantuan kemanusiaan, tetapi juga harus mengirim pesan tegas, bahwa pelanggaran hukum tidak akan pernah melahirkan perdamaian abadi," pungkasnya.
***
Oleh: ET Hadi Saputra (Pengamat Hukum)
#SolidaritasPalestina | #StopGenosida | #BelaAlAqsa | #DiplomasiIndonesiaKritis | #TuntutAkuntabilitasHukum