Foto, pasangan tidak suami istri yang bermesraan di pantai Semat, Jepara. |
Queensha.id - Jepara,
Fenomena pasangan muda yang dilarang bermesraan di ruang-ruang tertentu seperti pantai, kos-kosan, atau bahkan di atas motor yang terparkir di tempat sepi, kini kembali menjadi perbincangan publik. Banyak anak muda merasa hal itu hanyalah bagian dari perkenalan dan bentuk kasih sayang, sementara sebagian masyarakat menilai tindakan tersebut melanggar norma sosial dan agama.
Pertanyaan yang mengemuka kemudian: apakah larangan itu bentuk pembatasan hak pribadi, atau justru upaya menjaga moralitas publik?
Antara Privasi dan Ruang Sosial
Bagi sebagian remaja, berpacaran dianggap hal yang lumrah dalam proses mengenal satu sama lain. Namun, ketika aktivitas itu dilakukan di ruang terbuka—di mana publik dapat melihat—muncul benturan antara hak individu dan nilai sosial.
Menurut Purnomo Wardoyo, pengamat sosial asal Jepara, perilaku muda-mudi di tempat umum perlu dipahami dengan dua kacamata: hak individu dan tanggung jawab sosial.
“Anak muda punya hak untuk menjalin hubungan, tapi ruang publik punya aturan tak tertulis yang diatur oleh kesopanan dan budaya. Ketika dua hal ini bertabrakan, wajar masyarakat menegur,” ujar Purnomo saat ditemui di Jepara, Sabtu (19/10/2025).
Ia menambahkan, tempat seperti pantai atau taman memang sering menjadi ruang ekspresi anak muda, namun ketika kemesraan ditampilkan secara berlebihan—seperti berpelukan, berciuman, atau duduk berduaan di tempat gelap, itu bisa menimbulkan keresahan sosial.
“Ruang publik bukan tempat privasi. Ada norma sosial yang harus dihormati,” tegasnya.
Perspektif Islam: Menjaga Batas dan Martabat
Dalam pandangan Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah diatur secara ketat. Pacaran dalam konteks bermesraan, apalagi berduaan di tempat sepi, termasuk dalam kategori khalwat yakni situasi di mana laki-laki dan perempuan berduaan tanpa mahram, yang dapat menimbulkan fitnah.
Ustaz Ahmad Faiz, tokoh muda dari Jepara, menjelaskan:
“Islam tidak melarang cinta. Tapi Islam mengatur bagaimana cinta itu disalurkan. Berduaan di tempat sepi atau berperilaku mesra di publik bisa menjerumuskan pada hal yang dilarang, seperti zina kecil (mukhaddaratuz zina).”
Ia menegaskan, menjaga jarak dalam pacaran bukan berarti mengekang rasa cinta, melainkan bentuk perlindungan diri dari potensi dosa dan fitnah.
“Kalau benar-benar cinta, buktikan dengan cara yang terhormat. Datangi keluarganya, bukan sembunyi di kos atau di mobil,” tambahnya.
Antara Moral dan Modernitas
Realitanya, generasi muda kini hidup di era digital yang serba terbuka. Tayangan romantis di media sosial, drama Korea, dan budaya pop barat turut membentuk pandangan bahwa ekspresi cinta boleh ditunjukkan secara bebas. Namun, di masyarakat Indonesia yang masih berakar kuat pada nilai-nilai agama dan kesopanan, hal itu tetap dianggap tabu.
Purnomo menilai, tantangan terbesar bukan sekadar mengatur perilaku, melainkan mendidik generasi muda agar memahami konteks moral dalam setiap tindakannya.
“Larangan pacaran mesra di tempat umum bukan soal mengekang kebebasan, tapi soal pendidikan etika sosial. Kita ingin anak muda belajar bahwa cinta itu bukan hanya perasaan, tapi juga tanggung jawab," pungkasnya.
Cinta memang fitrah manusia. Namun, mengekspresikannya memerlukan kebijaksanaan. Bukan hanya soal hak pribadi, tetapi juga bagaimana menjaga kehormatan diri dan menghargai norma yang hidup di tengah masyarakat. Karena pada akhirnya, cinta sejati tidak membutuhkan tempat sepi untuk membuktikan kesetiaan, melainkan ruang hati yang bersih dan niat yang suci.
***
Jepara, 19 Oktober 2025.