Notification

×

Iklan

Iklan

Pak Tani: Satire Slank tentang Mimpi Petani yang Tak Kunjung Jadi Nyata

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 11.19 WIB Last Updated 2025-10-25T04:20:22Z

Foto, sampul Album Minoritas, Slank judul Pak Tani.


Queensha.id - Musik,


Lagu “Pak Tani” yang dirilis Slank pada tahun 1996 menghadirkan kritik sosial yang tajam namun dibungkus dengan nada humor dan ironi khas band legendaris tersebut. Di balik kelucuannya, lagu ini menyimpan sindiran pedas terhadap ketimpangan nasib petani Indonesia yang seolah tak pernah berubah, meski zaman terus berganti.


Lewat liriknya yang absurd namun penuh makna, Slank mengajak pendengarnya merenung: mungkinkah petani suatu hari bisa hidup sejahtera layaknya orang kota?


“Petani bajak sawah pake traktor,
kerja rutin ngontrol ladang numpak Harley,
ngitung laba panen pake komputer,
kirim order beras pake helikopter.”


Empat baris ini terdengar lucu, bahkan mustahil — tapi justru di situlah kekuatan kritiknya. Slank menertawakan ironi bahwa di negeri agraris seperti Indonesia, profesi petani justru sering kali hidup dalam kemiskinan. Sementara teknologi, modernisasi, dan kemewahan kota terus melesat, para petani masih berkutat dengan cangkul, lumpur, dan harga gabah yang tak menentu.


Bagian pembuka lagu ini juga menggambarkan absurditas sosial dengan gaya satir:


“Sang kancil curi laser disc-nya Pak Tani,
Pak Tani lupa pasang alarm.”


Adegan ini ibarat sindiran tentang jurang antara realitas dan impian. Petani yang digambarkan memiliki BMW dan laser disc hanyalah khayalan. Slank seperti berkata: “lihat, betapa jauhnya harapan dari kenyataan.”


Lagu yang diciptakan oleh Bongky Ismail dan Burman Siburian Parlin ini tetap aktual bahkan setelah hampir tiga dekade. Di tengah isu regenerasi petani yang kian menipis dan lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi perumahan atau industri, pesan “Pak Tani” semakin menggema: kesejahteraan petani bukan mimpi yang mustahil, tapi juga belum pernah benar-benar diwujudkan.


Dengan gaya nyentrik dan lirik jenaka, Slank berhasil menyuarakan keresahan sosial yang serius tanpa perlu berorasi. Mereka mengajak pendengar untuk tertawa (sekaligus merenung) bahwa kemajuan bangsa tak akan berarti jika akar kehidupan di desa terus kering.


Mungkin benar kata Slank,


“Nggak mungkin semua itu terjadi,
seratus tahun lagi… mungkin.”


Namun, jika bangsa ini terus lupa pada nasib para petaninya, bisa jadi seratus tahun pun masih terlalu cepat.


***

Queensha Jepara
25 Oktober 2025