Notification

×

Iklan

Iklan

Polemik Hidup Buruh Garmen di Jepara: Gaji, Lembur, dan Gaya Hidup yang Dipertanyakan

Jumat, 03 Oktober 2025 | 16.10 WIB Last Updated 2025-10-03T09:12:02Z

Foto, ilustrasi. Dikutip dari unggahan akun Instagram, @Karyawanpabrikjepara (PT HWI)

Queensha.id - Jepara,


Sebuah unggahan akun Facebook bernama Roberto Karlos, yang diduga merupakan warga Jepara, belakangan menjadi perbincangan karena menyoroti keras realita hidup buruh pabrik garmen di Jepara. Dalam unggahannya, ia mengurai hitung-hitungan gaji dan pengeluaran buruh perempuan yang dinilai tak sebanding, sekaligus menyindir gaya hidup mereka.


Dalam unggahan tersebut, Roberto menulis bahwa buruh garmen bekerja rata-rata 12 jam sehari, dari pukul 07.00 pagi hingga 19.00 malam. Dengan sistem upah minimum Rp2,5 juta per bulan dan tambahan lembur sekitar Rp800 ribu, total gaji yang diterima hanya sekitar Rp2,85 juta per bulan.


Namun, menurut hitungan Roberto, kebutuhan hidup bulanan justru jauh lebih besar. Ia mencontohkan beban cicilan motor matic sekelas PCX Rp1,5 juta per bulan, arisan Rp500 ribu, biaya makan Rp900 ribu, make-up dan bensin Rp500 ribu, hingga jajan Rp300 ribu. Total pengeluaran, menurutnya, bisa mencapai Rp3,7 juta setiap bulan yang jauh melampaui gaji yang diterima.



Kritik Gaya Hidup


Hal yang kemudian disorot Roberto bukan hanya soal ketidakcukupan gaji, melainkan gaya hidup para buruh perempuan yang tetap terlihat glowing, mengendarai motor mahal, hingga nongkrong di kafe.


“Kerjo jam 7 esok pol jam 7 bengi, awake kok kuwat men yo cah wedok. Terus raine kok glowing, montore PCX, mangané neng kafe, iseh melu arisan,” tulis Roberto dengan nada sindiran.


Ia kemudian mempertanyakan, dari mana sumber penghasilan tambahan mereka? “Terus teko ngendi neh rezeqimu mbak…? Wong wedok kerjo garmen mesti bantah… Rezeki ono sing ngatur kang,” lanjutnya.



Suara Buruh: “Bukan Semata Gaya Hidup”


Fenomena ini bukan kali pertama menjadi bahan perdebatan publik. Banyak buruh perempuan mengaku harus bekerja ekstra, bahkan mencari penghasilan tambahan di luar pabrik, seperti berjualan online, ikut arisan berantai, hingga memanfaatkan pinjaman koperasi.


Seorang buruh garmen asal Mayong, Jepara, yang enggan disebut namanya, menuturkan kepada awak media,
“Orang lihat kami bisa beli motor atau make-up, tapi mereka tidak tahu di baliknya ada cicilan, ada utang. Kami juga ingin tampil rapi, masa mau dibilang kumuh terus?”



Pengamat: Persoalan Struktural


Menurut Siti Rahmawati, aktivis perburuhan di Jepara, sindiran semacam itu justru bisa menambah beban psikologis buruh perempuan.


“Kalau ada yang bisa beli motor atau make-up, itu hak mereka. Jangan lupa, di balik itu ada masalah struktural: upah buruh di Jepara masih minim dibanding biaya hidup. Jadi persoalannya bukan pada buruh yang ingin hidup layak, tapi pada sistem pengupahan yang tidak berkeadilan,” jelasnya.


Siti menambahkan, banyak buruh perempuan yang memilih gaya hidup tertentu justru untuk menjaga kepercayaan diri dan status sosial di lingkungan. “Sayangnya masyarakat sering salah kaprah, mengira semua itu hasil dari cara-cara negatif. Padahal, banyak buruh yang gigih mencari tambahan halal,” tambahnya.



Realitas yang Tak Sesuai Hitungan


Apa yang ditulis Roberto memang menyentil realitas pahit: gaji buruh tak cukup untuk menopang kebutuhan hidup. Namun, jawaban atas pertanyaannya, “dari mana tambahan rezeki itu datang”, tak melulu harus dicurigai. Bisa jadi dari kerja sampingan, bisa dari utang, atau bahkan dukungan keluarga.


Yang pasti, perdebatan soal buruh garmen di Jepara kembali membuka luka lama: rendahnya upah dibanding tingginya biaya hidup, terutama bagi perempuan yang harus berjuang memenuhi kebutuhan sekaligus menjaga harga diri di mata sosial.


***

Sumber: Akun Facebook.

×
Berita Terbaru Update