Foto, ilustrasi. Karya: ET Hadi Saputra. |
Queensha.id - Opini Publik,
“Urip iku urup.” Hidup itu menyala. Hidup seharusnya memberi terang dan manfaat bagi sesama.
Filosofi Jawa ini dulu diucapkan dengan khidmat, dijadikan semboyan pejabat, pegangan guru, dan motto banyak institusi. Namun, di tengah zaman yang semakin pragmatis, pepatah itu kini terasa lebih seperti slogan di dinding ruang rapat hingga indah dibaca, tapi hampa makna.
Dari “Urup” ke “Cukup”
Di banyak ruang publik, kalimat “Urip iku urup” sering dipakai untuk memotivasi. Tapi, ketika realitas menekan, semboyan itu perlahan kehilangan panasnya.
Banyak lulusan perguruan tinggi yang dulu berapi-api ingin menjadi agen perubahan, akhirnya menyerah pada rutinitas: kerja, gaji, cicilan, dan kenyamanan posisi aman.
“Urip iku urup” berubah menjadi “Urip iku cukup”, cukup untuk diri sendiri dan keluarga.
Sementara masyarakat, lingkungan, dan tanggung jawab sosial menjadi urusan belakangan.
Kita pandai berteori tentang nyala hidup, tapi takut terbakar oleh risiko dan kegagalan.
Api yang Palsu di Balik Panggung Kekuasaan
Ironisnya, banyak pejabat negeri ini berkoar lantang tentang semangat “urup”. Namun ketika dibutuhkan pengorbanan nyata, nyala mereka justru mengecil.
Proyek mangkrak, regulasi timpang, dan korupsi berjamaah menjadi bukti bahwa banyak yang seharusnya menjadi obor, justru memadamkan cahaya.
Kita hidup di tengah zaman di mana api menjadi simbol pencitraan, bukan pengorbanan. Nyala itu dihidupkan saat kamera menyala, tapi padam saat rakyat menjerit.
Api Kecil Kita, Pelitnya Luar Biasa
Namun kesalahan bukan hanya milik para pejabat. Kita, rakyat biasa, juga sering menahan nyala.
Kita punya ilmu, tapi enggan berbagi.
Kita punya rezeki lebih, tapi memilih mempertinggi tembok rumah, bukan membantu tetangga. Kita punya waktu, tapi lebih senang mengomentari hidup orang lain ketimbang membersihkan selokan depan rumah.
Api kita kecil bukan karena tak mampu, tapi karena terlalu pelit untuk menyala.
Kita takut habis terbakar, padahal makna “urup” justru ada pada keberanian untuk terbakar dan demi memberi cahaya.
Nyala Sejati: Membakar Diri untuk Menerangi
“Urip iku urup” bukan sekadar hidup yang eksis.
Ia adalah hidup yang berperan.
Nyala sejati selalu menuntut pengorbanan: waktu, tenaga, ego, bahkan rasa nyaman.
Kalau hidup terasa datar, jangan buru-buru menyalahkan nasib. Mungkin, api dalam diri kita terlalu kecil, atau justru kita sengaja menutupinya, takut padam.
Padahal, angin tantangan seringkali justru memperbesar api dan bukan memadamkannya.
Dari Urup ke Warisan
Kita boleh tidak sempurna. Tapi hidup tanpa manfaat adalah bara dingin tanpa arah.
Filosofi Jawa ini mengajarkan keseimbangan: menyala tanpa membakar, memberi tanpa pamrih.
“Urip iku urup” bukan hanya tentang semangat, tapi tentang warisan moral—apa yang kita nyalakan akan terus menyala, bahkan setelah kita tiada.
Pilihan Ada di Tangan Kita
Apakah kita hanya ingin menjadi lilin kecil yang cukup menerangi diri sendiri?
Atau obor besar yang rela terbakar untuk menerangi jalan orang lain? Pilihan itu sederhana, tapi dampaknya besar: menentukan apakah hidup kita sekadar berlangsung, atau benar-benar berarti.
***
Oleh: ET Hadi Saputra.
Queensha Jepara
20 Oktober 2025