Notification

×

Iklan

Iklan

Usulan ‘Louis Vutong’ Menteri: Kebobrokan Logika di Tengah Harta Karun Negeri!

Senin, 20 Oktober 2025 | 22.05 WIB Last Updated 2025-10-20T15:06:16Z

Foto, ilustrasi. Karya ET Hadi Saputra.

Queensha.id - Jakarta,


Pernyataan kontroversial datang dari Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, yang menyarankan agar pelaku usaha di Indonesia membuat produk tiruan merek luar negeri seperti “Louis Vutong” untuk melawan serbuan tas impor ilegal.


Sontak, usulan ini menuai gelombang kritik keras. Bukan hanya dianggap tidak visioner, tetapi juga dinilai sebagai bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI).



Kebobrokan Logika di Balik ‘Louis Vutong’


Usulan Menteri Maman bukan sekadar ide buruk namun, ia mencerminkan kegagalan memahami esensi pemberdayaan UMKM.
Bagaimana mungkin seorang pejabat negara yang digaji untuk melindungi pelaku usaha justru mendorong mereka untuk meniru produk yang sudah jelas dilindungi hukum internasional?


Dalam penjelasannya, Maman menyebut bahwa memodifikasi nama dari Louis Vuitton menjadi Louis Vutong bukan pelanggaran. Namun menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, tindakan itu masuk dalam kategori “persamaan pada pokoknya”, yang berarti pelanggaran atas merek dagang.



“Sedikit mengubah nama tapi tetap meniru bentuk dan desain, itu tetap pelanggaran hukum,” tegas ET Hadi Saputra. 


“Secara moral, bahkan lebih buruk karena dilakukan atas dorongan pejabat negara," imbuhnya.


Lebih jauh, langkah ini berpotensi menjerumuskan UMKM ke ranah sengketa hukum internasional, dan memperburuk citra Indonesia di mata dunia sebagai negara yang tidak menghormati HKI.
“Jika negara sendiri melegalkan pembajakan, siapa investor yang mau masuk? Ini bencana reputasi,” tambahnya.



Kita Tidak Kekurangan Ide, Kita Kekurangan Dukungan


Alih-alih meniru, bangsa ini justru menyimpan harta karun kreativitas yang belum digali secara maksimal. Indonesia memiliki warisan budaya, keterampilan tangan, dan seni kriya yang tak kalah mewah dari brand Eropa.
Contohnya:


  • Tas kulit dan tenun Garut/Yogyakarta – kombinasi bahan lokal dengan sentuhan batik atau tenun ikat NTT, mencerminkan filosofi dan keanggunan Nusantara.
  • Kerajinan kayu dan rotan Jepara/Cirebon – produk alami yang ramah lingkungan dengan teknik ukir turun-temurun.
  • Perhiasan perak Kotagede dan Celuk – karya detail tinggi dengan nilai historis dan spiritual.
  • Batik dan Ecoprint – karya eksklusif yang mengusung luxury of culture, bukan sekadar label mahal.


“Kalau menteri ingin membantu UMKM, bantu mereka membangun merek yang orisinal. Jangan suruh mereka jadi pembajak bersertifikat negara,” kritik ET Hadi.



Tugas Seorang Menteri, Bukan Meniru tapi Melindungi


Menurut Hadi, tugas Kementerian UMKM mestinya jelas:


  1. Melindungi orisinalitas dengan mempermudah dan mensubsidi pendaftaran HKI bagi pelaku UMKM.
  2. Mengembangkan inovasi, lewat kolaborasi antara desainer muda dan pengrajin lokal.
  3. Membuka akses global, dengan dukungan pameran internasional seperti Milan Fashion Week atau Paris Fashion Week.
  4. Memberantas impor ilegal lewat koordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan aparat hukum.


“Kalau mau bersaing, bersainglah dengan keunikan kita. Bukan dengan meniru,” tegasnya lagi. 


Kita harus berani menyatakan kepada dunia: Indonesia bukan pembajak, tapi pencipta tren baru!



Harta Karun Itu Bernama UMKM Desa


Dunia kini mulai meninggalkan produk massal dan kembali mencari produk dengan cerita dan identitas. Di titik inilah kekuatan UMKM Indonesia berada: di desa-desa pengrajin yang memadukan tangan terampil dengan nilai budaya tinggi.


“Daripada bikin Louis Vutong, kenapa tidak Batik Parang Bag, Toraja Leather Craft, atau Jepara Carving Tote?” Produk seperti inilah yang akan membuat Indonesia disegani, bukan ditertawakan.



Usulan “Louis Vutong” bukan sekadar salah kaprah namun ia adalah simbol kebobrokan logika dalam mengelola potensi bangsa. Sudah saatnya pejabat membuka mata: kemewahan sejati Indonesia bukan pada tiruan merek asing, tetapi pada orisinalitas yang lahir dari tangan rakyatnya sendiri.


***

Oleh: ET Hadi Saputra, Pengamat Hukum.

Queensha Jepara
20 Oktober 2025