| Foto, ilustrasi. Anak dibawah umur hamil. |
Queensha.id – Jepara,
Kasus kehamilan di bawah umur kembali menjadi perhatian publik di Jepara. Fenomena ini bukan hanya persoalan moral, tetapi juga kegagalan edukasi, pengawasan, serta lemahnya literasi seks di keluarga. Pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai kasus tersebut meningkat karena kombinasi kurangnya pengetahuan reproduksi, budaya pergaulan yang kian bebas, serta kelengahan orang tua dalam mengawasi anak perempuan.
Umur Berapa Anak Perempuan Mulai Mengalami Menstruasi?
Secara medis, anak perempuan umumnya mengalami menstruasi pertama (menarche) pada usia 9–14 tahun. Namun, faktor genetika, gizi, dan lingkungan dapat mempercepat atau memperlambatnya. Artinya, pada usia sekolah dasar hingga awal SMP, sebagian besar anak perempuan sudah masuk fase reproduktifyang secara biologis membuat mereka rentan terhadap bujuk rayu dan ajakan dari laki-laki.
Purnomo menegaskan bahwa banyak orang tua belum memahami betapa cepatnya perubahan fisik dan psikologis anak perempuan pada usia tersebut.
“Orang tua sering masih menganggap anak mereka ‘kecil’, padahal secara biologis mereka sudah bisa hamil. Ketidaktahuan ini berbahaya,” jelas Purnomo, Senin (24/11/2025).
Mengapa Anak Perempuan Mudah Dirayu hingga Terjebak Hubungan Seksual?
Purnomo memaparkan sejumlah penyebab utama:
-
Psikologi remaja yang masih labil
Anak perempuan usia 11–16 tahun mudah merasa ingin dihargai, dicintai, dan diperhatikan. Pelaku sering memanfaatkan kebutuhan emosional ini. -
Minim edukasi seks dari keluarga
Banyak orang tua menganggap pembicaraan seks itu tabu, padahal informasi yang benar justru mencegah penyimpangan. -
Pengaruh gawai, media sosial, dan konten romantis
Anak perempuan mudah terpapar konten pacaran dewasa yang membentuk persepsi keliru tentang cinta. -
Kurangnya pengawasan
Banyak kasus terjadi karena anak bisa keluar rumah dengan alasan belajar, mengaji, atau bertemu teman tanpa dicek kebenarannya. -
Manipulasi dari laki-laki yang lebih dewasa
Tak sedikit pelaku memberikan janji palsu, ancaman, hingga tekanan emosional yang membuat korban tidak berdaya.
Tanggung Jawab Orang Tua: Jangan Sampai Putrinya Mengelabui untuk Pergi dengan Laki-laki
Purnomo menegaskan bahwa pengawasan orang tua harus ditingkatkan tanpa harus bersikap otoriter. Menurutnya, ada beberapa langkah penting:
- Periksa setiap agenda anak: dengan siapa pergi, ke mana, dan kapan pulang.
- Bangun komunikasi terbuka: agar anak tidak takut bercerita meski melakukan kesalahan.
- Pantau penggunaan gawai: terutama aplikasi yang memungkinkan komunikasi privat.
- Ajarkan batasan pergaulan: termasuk larangan pergi berduaan dengan laki-laki.
- Libatkan anak dalam kegiatan positif: agar tidak memiliki banyak waktu luang tanpa pengawasan.
“Anak tidak tiba-tiba membangkang. Biasanya orang tua terlalu longgar atau kurang mendengar cerita anak. Di sinilah celah anak bisa berbohong,” kata Purnomo.
Bagaimana Edukasi Seks yang Seharusnya Diberikan kepada Anak Perempuan?
Purnomo menegaskan bahwa edukasi seks harus dilakukan sejak dini, bertahap, dan sesuai usia. Edukasi ini bukan mengajarkan cara berhubungan seksual, tetapi:
- Mengajarkan bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain
- Menjelaskan konsekuensi biologis dan sosial dari hubungan seksual
- Memberikan pemahaman tentang bahaya rayuan dan manipulasi
- Menanamkan nilai agama dan moral tentang menjaga diri
- Mengenalkan konsep consent, batasan, dan keamanan diri
Menurutnya, anak yang memahami tubuhnya akan lebih sulit ditipu dan dirayu.
“Edukasi seks itu pelindung, bukan pendorong. Anak yang tahu risikonya justru lebih berhati-hati,” tegasnya.
Angka Kehamilan di Bawah Umur Masih Tinggi
Di sejumlah wilayah, termasuk Jepara, laporan kasus anak perempuan hamil di luar nikah terus muncul. Banyak dari mereka berusia 13–16 tahun, dan sebagian besar mengaku tidak memahami risiko dari hubungan seksual.
Purnomo memperingatkan bahwa kasus ini bisa berdampak panjang:
- putus sekolah,
- tekanan psikologis,
- pernikahan dini,
- hilangnya masa depan anak.
“Ini bukan semata kesalahan anak. Ini cermin bahwa keluarga, sekolah, dan masyarakat belum melindungi mereka dengan maksimal,” tutupnya.
***
Tim Redaksi.