Notification

×

Iklan

Iklan

Kisah LBT di Tahunan Jepara: Mantan Napi, Hidup Sulit, dan Konflik Sekolah yang Menghebohkan Warga

Minggu, 09 November 2025 | 15.18 WIB Last Updated 2025-11-09T09:26:28Z

Foto, ilustrasi seorang laki-laki penuh permasalahan.


Queensha.id – Jepara,


Seorang pria berinisial LBT (45), warga asal Palembang yang kini menetap di wilayah Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, menjadi sorotan masyarakat setelah serangkaian tindakannya di dunia nyata dan media sosial menimbulkan keresahan. Kisah hidupnya mencerminkan tekanan ekonomi, konflik sosial, dan beban psikologis yang saling bertumpuk.



Menikah Tanpa Restu, Hidup Serba Kekurangan


Diketahui, sebelum menikah dengan perempuan asal Jepara, keluarga pihak perempuan sempat keras menolak hubungan tersebut. Namun LBT tetap nekat menikah meski tanpa restu orang tua sang istri.


Berbeda dengan kabar sebelumnya, LBT dan istrinya tidak pernah tinggal di rumah mertua, sebab pernikahan mereka memang tidak direstui. Setelah menikah, pasangan itu langsung mengontrak rumah sederhana di kawasan Kecamatan Tahunan.


Kini, keduanya hidup dengan lima orang anak, dan meski sudah memiliki KTP Jepara, kehidupan ekonomi mereka jauh dari kata layak. LBT hanya bekerja sebagai supir truk serabutan, tanpa penghasilan tetap.


Kondisi itu membuatnya sering berutang ke kanan-kiri, bahkan menimbulkan ketegangan dengan sejumlah warga karena pinjamannya kerap tidak dikembalikan.



Mantan Narapidana dan Sulitnya Mendapat Pekerjaan


LBT disebut-sebut merupakan mantan narapidana dari kasus yang belum jelas diketahui publik. Status itu membuatnya semakin sulit mencari pekerjaan tetap. Ia hanya mengandalkan sopir truk lepas, itupun jika ada panggilan.


Beban ekonomi, rasa rendah diri, dan tekanan sosial diduga membuatnya mudah tersulut emosi dan kehilangan kendali. Beberapa warga menyebut, LBT kerap berbicara kasar, merasa paling benar, dan tidak takut menghadapi siapa pun.


“Dia sering marah-marah, ngomongnya keras, katanya enggak takut mati. Kadang posting di Facebook isinya menantang orang,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya.



Konflik Sekolah dan Tuduhan Bullying


Masalah semakin memanas ketika LBT menuding enam siswa di sekolah dasar negeri tempat anaknya belajar telah melakukan perundungan (bullying) terhadap anaknya selama dua tahun.


Ia menulis serangkaian posting di Facebook yang menyebut nama sekolah dan kepala sekolah secara terbuka, bahkan menuduh mereka melindungi pelaku bully.


Padahal, menurut keterangan beberapa wali murid dan pihak sekolah, permasalahan berawal dari perilaku anak LBT sendiri yang kerap meminta uang jajan secara memaksa hingga dijauhi teman-temannya.


Ketika pihak sekolah mengundang musyawarah untuk menyelesaikan persoalan, LBT tidak pernah hadir. Bahkan saat dihubungi kepala sekolah, ia disebut sempat memaki dengan kata-kata kasar melalui pesan singkat WhatsApp.


Lebih parahnya lagi, beredar kabar bahwa LBT meminta para wali murid untuk sujud dan mencium kakinya sebagai permintaan maaf, disertai uang damai.


Tindakan itu memicu reaksi keras masyarakat dan membuat suasana di lingkungan sekolah menjadi tidak nyaman.



Masalah Psikologis dan Ketegangan Sosial


Banyak pihak menduga LBT mengalami tekanan psikologis berat akibat tumpukan masalah ekonomi dan sosial yang dihadapinya. Ia dikenal mudah marah, merasa selalu benar, dan sering menulis status provokatif di media sosial.


Kondisinya yang hidup dalam keterbatasan bersama lima anak dan istri tanpa dukungan keluarga besar membuatnya semakin terisolasi. Kehidupan ekonomi yang sulit, ditambah trauma masa lalu sebagai mantan napi, diyakini memperburuk kondisi mentalnya.



Solusi yang Diperlukan: Pendekatan Sosial dan Psikologis


Masalah yang menimpa LBT tidak bisa hanya dilihat dari sisi hukum atau moral semata. Ini adalah persoalan sosial kompleks yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah desa, lembaga pendidikan, dan dinas sosial.


Beberapa langkah yang dapat dilakukan:


  1. Pendampingan psikologis dan sosial bagi LBT dan keluarganya, agar dapat mengendalikan emosi dan memahami situasi secara lebih rasional.
  2. Mediasi resmi antara pihak sekolah, wali murid, dan keluarga LBT untuk menyelesaikan konflik secara damai dan bermartabat.
  3. Pemantauan oleh aparat desa dan RT setempat, mengingat LBT memiliki riwayat konflik sosial di lingkungannya.
  4. Edukasi literasi digital agar masyarakat lebih bijak menanggapi informasi di media sosial dan tidak ikut memperkeruh keadaan.



Membangun Empati, Bukan Kebencian


Kisah LBT menggambarkan potret getir kehidupan sosial di tengah tekanan ekonomi yang menjerat. Ketika beban hidup tidak tertangani dengan bijak, masalah pribadi bisa merembet menjadi konflik publik.


Masyarakat dan pemerintah perlu hadir bukan dengan hukuman semata, melainkan pendekatan kemanusiaan dan empati. Karena di balik setiap kemarahan dan kesalahan, sering kali tersimpan kisah panjang tentang keputusasaan dan kebutuhan akan pengertian.


***

(Tim Redaksi Queensha Jepara / 9 November 2025)