| Foto, penolakan dari masyarakat Adat Dayak Meratus. (sumber foto: Mongabay) |
Queensha.id – Kalimantan Selatan,
Gelombang penolakan memuncak di Kalimantan Selatan. Masyarakat Adat Dayak Meratus menentang rencana pemerintah menjadikan wilayah hidup mereka sebagai Taman Nasional Gunung Meratus. Bagi mereka, pegunungan itu bukan sekadar ruang tinggal melainkan identitas, sejarah, dan ruang spiritual yang telah dijaga ratusan tahun.
Di balik bentangan perbukitan lembap dan lembah hutan tropis, tersimpan kisah panjang tentang ketahanan fisik, kekerabatan unik, tradisi lisan, hingga transformasi budaya yang perlahan berubah seiring masuknya kebijakan pemerintah.
Perlawanan dari Pegunungan
Aksi damai berkali-kali digelar. Di halaman Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, ratusan massa dari Aliansi Meratus membentangkan spanduk menolak penetapan taman nasional. Mereka menegaskan: Meratus telah mereka jaga turun-temurun, tanpa pernah merusaknya.
“Tanpa kami, hutan ini tidak akan tetap seperti sekarang,” demikian suara yang berulang terdengar dari warga adat.
Pertanyaan pun muncul: siapa sebenarnya masyarakat yang selama ini menjaga jantung hutan Meratus?
Fisik Kuat dan Bertahan dari Alam Terjal
Menurut antropolog Devi Damayanti, Orang Meratus tumbuh dalam kerasnya geografi pegunungan dan lembah curam. Karena itu, ciri fisik mereka tampak menyesuaikan alam:
- Kulit sawo matang, sedikit lebih terang dibanding kelompok Dayak lain.
- Otot betis besar—hasil dari kebiasaan berjalan kaki melintasi bukit dan tebing curam setiap hari.
Rubi, Ketua AMAN Kalimantan Selatan, tertawa ketika memperlihatkan betisnya sendiri. “Rata-rata kami begini,” ujarnya sambil berjinjit, menunjukkan hasil ratusan hari berjalan naik-turun bukit.
Hingga kini, banyak kampung Meratus tidak memiliki akses jalan beraspal. Jalan setapak adalah satu-satunya jalur. Bepergian ke kampung lain membutuhkan perjalanan panjang, menyeberangi sungai dan tebing batu, lalu dilanjutkan dengan motor trail.
Dulu, perjalanan ke pasar bisa memakan waktu tujuh hari. Para perempuan membawa beras sagantang, berjalan dari satu pondok ke pondok lain untuk beristirahat tanpa berkemah di hutan.
Ketika pulang membawa barang belanjaan, semuanya dipanggul dengan teknik mahambin: tali diikat ke dahi, beban berada di punggung. Mereka kuat membawa puluhan kilogram.
Kini, perjalanan dua hari satu malam masih dianggap biasa.
Bahasa Kekerabatan yang Rumit, Tapi Teratur
Di Meratus, memanggil orang hanya berdasarkan usia atau hubungan darah bukanlah hal sederhana. Sistem hubungan mereka disebut cu’ur.
Contohnya:
- Umang = Bibi
- Awat = Kakek
- Apih = Nenek
- Busu = Paman
Namun, sebutan ini tidak selalu berpasangan seperti bahasa keluarga pada umumnya. Satu orang bisa memanggil suami dari bibi sebagai awatan, sementara orang lain menyebutnya awat. Semua tergantung garis keluarga.
Lebih unik lagi adalah sistem tekononimi: seseorang dipanggil berdasarkan nama anaknya.
- Jika anaknya bernama Jitu maka orang tuanya dipanggil Ma Jitu atau Induan Jitu.
- Jika Jitu punya anak bernama Apir maka Jitu menjadi Ma Apir, sementara kakek-neneknya menjadi Awat Apir dan Apih Apir.
Nama asli bisa hilang dari percakapan sehari-hari. Identitas berubah mengikuti generasi.
Sastra Lisan: Sejarah Tanpa Tulisan
Masyarakat Dayak Meratus tidak memiliki aksara. Mereka menyimpan sejarah dalam bentuk tuturan, bukan tulisan.
Kisah leluhur, legenda, hingga nilai hidup diwariskan dari mulut ke mulut. Setiap tetua bisa membawa versi cerita berbeda, namun tokoh dan inti kisah tetap dianggap suci dan benar.
Salah satu figur penting adalah Bungsu Kaleng, pahlawan sakti yang kisahnya tersebar dalam berbagai versi. Tidak ada bukti historis tertulis, tapi bagi masyarakat Meratus, kisah itu sama nyatanya dengan gunung yang mereka lihat setiap hari.
Pakar budaya Fridolin Ukur mengatakan, mitos dalam masyarakat Dayak bukan dongeng kosong, melainkan peristiwa yang diyakini terjadi di alam leluhur. Karena itu, mereka dianggap bagian dari sejarah, meski tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Meninggalkan Balai: Dari Hidup Komunal ke Rumah Individu
Seperti banyak suku Dayak lain, dahulu masyarakat Meratus tinggal di rumah balai yang merupakan bangunan memanjang yang dihuni puluhan keluarga.
Di dalamnya terdapat:
- Ruang upacara
- Ruang laras (duduk bersama)
- Bilik untuk tiap keluarga
Namun tradisi itu berubah drastis setelah intervensi eksternal:
Gelombang Pertama – Tahun 1904
Pemerintah kolonial Belanda memerintahkan pembongkaran rumah panjang, dengan alasan:
- Tidak higienis
- Rawan kebakaran
Alasan yang diyakini sebagian warga sebagai upaya memecah persatuan kelompok adat.
Gelombang Kedua – 1970 sampai 1990-an
Program pemerintah seperti PMKT dan KAT menempatkan masyarakat adat ke permukiman terpadu yang dianggap lebih modern.
Namun rumah-rumah baru ini jauh dari ladang dan kebiasaan warga. Akibatnya:
- Warga tetap tinggal di pondok dekat ladang
- Permukiman pemerintah hanya ramai saat jeda panen atau tanam
- Muncul kampung-kampung baru yang mereka bangun sendiri
Balai adat pun dibangun ulang, sering kali dengan arsitektur modern: lantai keramik, dinding beton, namun tetap mempertahankan ruang utama untuk kegiatan adat.
Jangan sebut kami orang bukit
Pada era 1970–1980-an, literatur antropologi sering menyebut masyarakat ini sebagai Suku Bukit merupakan istilah yang bagi mereka terasa merendahkan.
Sebutan “orang bukit” dianggap:
- Umum dan tidak spesifik
- Mencerminkan pandangan luar yang merendahkan
- Menggiring stereotip bahwa mereka primitif dan tidak berpendidikan
Istilah Dayak Meratus mulai populer setelah penelitian Anna Lowenhaupt Tsing (1993), yang ingin menggantikan label negatif tersebut dengan identitas yang lebih tepat dan terhormat.
Pinan, tetua adat, mengingat bagaimana dulu mereka dipanggil “orang bukit” saat turun ke pasar. Bukan sekadar penanda tempat, tapi label yang membawa stigma kemiskinan dan keterbelakangan.
“Sebutan itu menyakitkan,” kata Syahrani, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalsel. “Kami punya pengetahuan hutan, punya tradisi, punya sistem hidup. Kami bukan orang asing di negeri sendiri.”
Penjaga Meratus, Bukan Pengganggu Hutan
Di balik kerendahan hati orang Meratus, mereka memiliki kontribusi besar terhadap kelestarian hutan. Mereka:
- Mengelola ladang secara rotasi
- Tidak menebang sembarangan
- Menjaga mata air
- Menjalankan ritual adat sebelum membuka lahan
Kini, ketika wilayah mereka hendak dijadikan taman nasional, perasaan terancam muncul:
“Jika ditetapkan, siapa yang berkuasa? Kami atau negara?” tanya seorang warga.
Bagi mereka, hutan bukan objek konservasi semata, tetapi rumah spiritual yang tidak dapat dipisahkan dari identitas.
***
Sumber: Mongabay.