| Foto, animasi (Ratu Shima) dari Jepara. |
Queensha.id – Jepara,
Dalam lintasan sejarah Jawa kuno, nama Ratu Shima berdiri sebagai salah satu figur perempuan paling berpengaruh yang pernah memimpin sebuah kerajaan besar. Berkuasa antara tahun 674–695 M, Maharani dari Kerajaan Kalingga ini dikenang bukan hanya karena kecantikannya dan garis keturunannya yang agung, tetapi terutama karena ketegasan hukum serta reputasi kejujuran rakyat yang ia bina.
Lahir pada tahun 611 M di wilayah Keling, Jepara, Shima merupakan putri dari Dapunta Selendra dan bagian dari Wangsa Sailendra merupakan keluarga bangsawan yang kelak mewarnai perjalanan sejarah Jawa dan Sumatra. Ia menjadi permaisuri Raja Kartikeyasingha yang memerintah Kalingga Selatan di wilayah Kediri. Namun saat suaminya wafat, Shima naik takhta dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara, dan memindahkan pusat kerajaan ke Kalinggapura, Jawa Tengah.
Pemimpin Tegas yang Menjunjung Kejujuran
Nama Ratu Shima kerap dikaitkan dengan hukum yang amat keras terhadap kejahatan terutama pencurian. Ia percaya bahwa negara yang kuat harus dibangun di atas kejujuran rakyat dan ketegasan pemimpinnya.
Salah satu legenda yang paling terkenal menyebutkan adanya seorang pemimpin bangsa Arab yang meletakkan kantung emas di persimpangan jalan ibu kota Kalingga untuk menguji kabar bahwa rakyat Kalingga dikenal jujur. Selama tiga tahun penuh, tak seorang pun berani menyentuhnya.
Hingga suatu hari, putra mahkota, tanpa sengaja menyentuh kantung itu dengan kakinya. Shima menjatuhkan hukuman mati atas pelanggaran tersebut. Kendati akhirnya para pejabat memohon pengampunan, sang Ratu tetap menjatuhkan hukuman: memotong kaki pangeran. Kisah ini menyebarkan nama besar Kalingga ke berbagai belahan dunia kuno yang merupakan sebuah kerajaan yang menegakkan kejujuran bahkan di lingkaran darah biru sekalipun.
Pengaruh Politik dan Hubungan Antar-Kerajaan
Pada masanya, wilayah Nusantara dipenuhi pergolakan antar-kerajaan, termasuk bangkitnya Sriwijaya yang memperluas wilayah hingga menaklukkan Melayu Sribuja. Hubungan Kalingga dengan Sriwijaya sempat menegang karena ikatan kekerabatan antara Shima dan kerajaan Melayu.
Di tengah konflik, sejumlah kerajaan berusaha menjalin diplomasi, termasuk Mitra Pasamayan yang merupakan perjanjian perdamaian antara Sunda dan Sriwijaya. Namun Kalingga menolak tawaran serupa karena luka masa lalu. Ketegangan besar antara Sriwijaya dan Keling nyaris berbuah peperangan sebelum dilerai oleh Raja Sunda, Sri Maharaja Tarusbawa.
Keterlibatan Ratu Shima dalam dinamika politik ini menunjukkan betapa besar pengaruh Kalingga pada kawasan Nusantara abad ke-7.
Masa Keemasan Kalingga
Di bawah kepemimpinan Ratu Shima, Kalingga memasuki masa kemakmuran. Hukum ditegakkan setara, hasil bumi melimpah berkat sistem pengairan yang ia kembangkan, dan relasi budaya tumbuh harmonis antara agama Hindu dan Buddha. Wilayah kekuasaannya bahkan sering disebut Di Hyang, merujuk pada tempat bersatunya dua ajaran besar Nusantara.
Ratu Shima dikenal tak hanya tegas, tetapi juga adil dan berwibawa. Rakyat mencintainya, para pejabat menghormatinya, dan kerajaan-kerajaan tetangga segan padanya. Banyak catatan menyebutkan tak ada satupun pejabat atau rakyat jelata yang berani menentang sabda sang Ratu yang merupakan sebuah loyalitas yang justru membuat Shima resah, karena takut dihormati secara berlebihan.
Warisan Besar: Dari Galuh hingga Mataram
Jejak kepemimpinan Ratu Shima tidak berhenti pada pemerintahannya. Melalui putri dan cucunya, ia melahirkan generasi raja-raja besar:
- Putrinya, Dewi Parwati, menjadi ratu Galuh.
- Cicitnya melalui Dewi Sannaha dan Prabu Sanna adalah Sanjaya, pendiri Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Hindu.
- Dari garis inilah kemudian lahir raja-raja besar di Jawa Tengah, termasuk Rakai Panangkaran.
Hal ini menegaskan bahwa Ratu Shima bukan hanya penguasa Kalingga, tetapi juga nenek moyang dari banyak dinasti yang membentuk fondasi awal sejarah Jawa.
Akhir Kehidupan Sang Maharani
Ratu Shima wafat pada 695 M, tiga tahun setelah Sri Jayanasa dari Sriwijaya mangkat. Sebelum meninggal, ia membagi wilayah Keling menjadi dua bagian: Keling Utara dan Keling Selatan, demi stabilitas dan kesinambungan pemerintahan.
Meski telah berabad-abad berlalu, nama Shima tetap harum di antara ilmuwan, sejarawan, dan masyarakat Jawa. Ia dikenang sebagai ratu yang adil, pemimpin perempuan yang kuat, dan simbol kejujuran yang melekat dalam identitas masyarakat Nusantara.
***
(Tim Redaksi Queensha Jepara)