Notification

×

Iklan

Iklan

Renungan Ibadah: Ketika Al-Qur’an Menegur Kita tentang Malas Shalat dan Enggan Berinfaq

Selasa, 18 November 2025 | 12.46 WIB Last Updated 2025-11-18T05:46:58Z

Foto, ilustrasi bersedekah atau infaq.


Queensha.id - Edukasi Islami,


Al-Qur’an bukan sekadar kitab sejarah spiritual umat terdahulu. Ayat demi ayatnya terus mengalir mengikuti zaman, menghadirkan pesan yang selalu relevan dalam kehidupan manusia modern. Salah satunya terdapat dalam Surah At-Taubah ayat 54, ketika Allah menyingkap hakikat perilaku orang-orang munafik hingga pesan yang sejatinya bukan hanya untuk masa lalu, tetapi untuk kita hari ini.


“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari infak-infak mereka, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas, dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah: 54)


Ayat ini bukan sekadar teguran. Ia adalah cermin yang memantulkan kondisi hati manusia masa kini—yang shalatnya berakhir sebagai rutinitas mekanis, dan infaqnya tinggal hitungan nominal tanpa rasa.



Ibadah yang Kehilangan Ruh


Di tengah kehidupan modern yang penuh tekanan, banyak orang menghadapi ibadah sebagai beban. Shalat dilakukan tergesa-gesa, tanpa kekhusyukan, seakan ingin segera selesai. Infaq pun kadang terasa seperti kewajiban yang mengurangi harta, bukan bentuk syukur dan kasih sayang kepada sesama.


Padahal, sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad ﷺ:


“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)


Ketika ibadah kehilangan ruh, hilang pula kenikmatan spiritual yang seharusnya menjadi oase dalam hidup yang melelahkan.



Shalat dan Infaq: Dua Sayap yang Harus Seimbang


Al-Qur’an kerap menggandengkan dua amalan ini, seperti dalam firman-Nya:


“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah: 43)


Shalat memperkuat hubungan vertikal kepada Allah, sedangkan infaq memperkuat hubungan horizontal kepada sesama. Tanpa keduanya, hidup kehilangan keseimbangan. Hati mudah gelisah, pikiran dipenuhi hitungan duniawi, dan spiritualitas tergerus oleh rutinitas.


Penyakit malas shalat dan enggan berinfaq sesungguhnya bukan soal waktu atau uang. Ia adalah tanda bahwa hati sedang keruh dan jauh dari makna.



Dari Keterpaksaan Menuju Keikhlasan


Para ulama berkata, “Barang siapa merasakan manisnya iman, maka ia tidak akan merasa berat dalam beribadah.”


Ketika ibadah dilakukan hanya sebagai kewajiban, ia akan terasa berat. Namun ketika dilakukan dengan cinta, shalat menjadi ruang pertemuan antara hamba dan Pencipta, dan infaq menjadi wujud kasih sayang, bukan beban.



Rasulullah ﷺ bahkan bersabda:


“Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)


Karena bagi orang beriman, memberi adalah menerima dan dalam bentuk ketenangan, keberkahan, dan ketenteraman jiwa.



Kepemimpinan Batin: Memimpin Diri untuk Taat


Di zaman modern, banyak orang berlomba memimpin orang lain, namun sedikit yang mampu memimpin dirinya sendiri. Padahal, kepemimpinan sejati dimulai dari kemampuan menundukkan ego dan menguasai hawa nafsu.


Ia yang mampu memimpin dirinya untuk rajin shalat, berinfaq dengan tulus, dan memperbaiki hati, sejatinya tengah membangun kepemimpinan paling mulia—kepemimpinan batin.



Menemukan Ketenangan di Tengah Kegelisahan


Malas beribadah bukan sekadar masalah disiplin, tetapi masalah makna. Ketika hati penuh ketakutan kehilangan, sibuk menghitung dunia, dan jauh dari Allah, ibadah terasa berat. Namun ketika hati kembali pasrah, tenang, dan yakin bahwa semuanya berasal dari-Nya, ibadah justru menjadi sumber energi.



Allah berfirman:


“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‘ām: 162)


Di sinilah letak ketenangan sejati—ketika ibadah bukan lagi keterpaksaan, melainkan perjalanan pulang menuju Allah. Ketika shalat menjadi rindu, dan infaq menjadi cinta.


***

(Tim Redaksi Queensha Jepara)