Notification

×

Iklan

Iklan

Ayah, Suami dan Neraca Akhirat: Ketika Anak-Istri Menjadi Penuntut di Padang Mahsyar

Jumat, 26 Desember 2025 | 14.39 WIB Last Updated 2025-12-26T07:40:35Z

Foto, keluarga harmonis saat berada di dunia.



Queensha.id - Edukasi Islami,


Di balik rutinitas mencari nafkah, lembur tanpa jeda, dan ambisi menumpuk dunia, ada satu pertanyaan besar yang sering luput direnungkan para lelaki: sudahkah ia benar-benar menjadi ayah dan suami, atau sekadar mesin pencari uang?


Sebuah gambaran menggetarkan tentang hari akhir kembali mengingatkan bahwa peran kepala keluarga tidak berhenti di meja makan dan biaya sekolah. Di Padang Mahsyar, saat matahari didekatkan hanya sejauh satu mil dan keringat manusia menggenang sesuai amal dan dosanya, seorang lelaki berdiri gemetar yaitu: 


1. Tangan kosong.

2. Amal yang dulu dibanggakan di dunia tak seberat debu di timbangan.

3. Bukan orang asing yang mendekat.

4. Anak-anaknya.

5. Istrinya.



Mereka bukan datang membawa pembelaan, melainkan tuntutan.
Anak-anaknya satu per satu bersuara. Ada yang menuntut karena tak pernah diajari shalat. 


Ada yang menggugat karena tak dikenalkan Al-Qur’an. Ada yang menangis karena tumbuh cerdas secara dunia, namun buta arah akhirat. Semua tuntutan itu berujung pada satu seruan: meminta hak pendidikan iman yang diabaikan ayahnya sendiri.


Padahal Allah telah mengingatkan dengan tegas dalam Al-Qur’an agar setiap orang beriman menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Amanah itu jelas, namun sering kalah oleh kesibukan duniawi.



Lebih menggetarkan lagi, sang istri pun melangkah maju. Tanpa amarah, tanpa teriakan. Justru dengan luka yang sunyi. Ia menuntut kepemimpinan yang tak pernah dijalankan. Seorang suami yang rajin bekerja, tetapi lalai menjadi imam. Pulang membawa lelah, namun tak pernah membawa doa.


Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Kepemimpinan dalam rumah tangga bukan soal kuasa, melainkan arah: apakah keluarga digiring menuju surga atau dibiarkan tersesat oleh dunia.
Di hadapan pengadilan akhirat, malaikat pun mulai memindahkan amal. Shalat sunnah, sedekah, puasa dan semua berpindah untuk menutup tuntutan. 



Ketika amal habis, dosa pun dipindahkan. Inilah potret “orang bangkrut” yang diperingatkan Rasulullah SAW yang datang dengan ibadah, namun pulang dengan kehancuran karena menzalimi hak orang lain. Dan keluarga adalah pihak pertama yang paling berhak menuntut.



Tangis penyesalan pun pecah. Kalimat “seandainya” menggema maka, seandainya dulu mengajari shalat, seandainya meluangkan waktu mengaji, seandainya menjadi ayah sejati, bukan sekadar pencari nafkah. Namun semua itu tak lagi berguna. Hari itu adalah yaumul hasrah yaitu hari penyesalan yang tak bisa diulang.


Kisah ini bukan sekadar renungan, tetapi peringatan tajam bagi para ayah dan suami hari ini. Di dunia, anak dan istri bergantung pada kepemimpinan seorang lelaki. Di akhirat, mereka bisa berubah menjadi penuntut paling berat.


Menjadi imam keluarga memang melelahkan. Namun jauh lebih melelahkan jika harus mempertanggungjawabkan kelalaian itu di hadapan Allah. Lebih baik letih mengajari shalat, daripada hancur karena tuntutan di akhirat.


***
Tim Redaksi.