| Foto, ilustrasi konten pendek. |
Queensha.id - Media Sosial,
Dalam beberapa tahun terakhir, budaya konsumsi informasi masyarakat Indonesia mengalami perubahan drastis. Kehadiran konten pendek yaitu video 10 hingga 30 detik yang menjadi raja baru di platform digital. Di balik keseruannya, pola konsumsi serba cepat ini justru menyimpan ancaman serius bagi kualitas berpikir publik dan posisi para pakar di ruang pengetahuan.
Fenomena ini kembali disorot Guru Besar Cyber Law dan Regulasi Digital Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, yang mengingatkan bahwa banjir konten pendek bukan hanya mengubah cara orang belajar, tetapi juga menciptakan ilusi pengetahuan. “Konten viral bisa membuat seseorang seolah mendadak pintar,” ujarnya. Lebih jauh, hal itu membentuk keyakinan semu yang diperkuat oleh filter bubble, gelembung algoritma yang mengunci pengguna dalam satu sudut pandang.
Doomscrolling dan Algorithmic Loop: Jerat Tak Terlihat
Pengguna media sosial kini terbiasa doomscrolling—menggulir konten tanpa henti—yang secara psikologis membuat otak terpancing untuk terus mencari rangsangan baru. Platform pun memperkuat pola tersebut melalui algorithmic viewing loop, mekanisme yang hanya mengejar keterlibatan (views, likes, dislikes), tetapi mengabaikan akurasi dan landasan ilmiah.
Akibatnya, batas antara hiburan, opini, hoaks, dan pengetahuan ilmiah semakin kabur. Video 15 detik dapat terdengar lebih meyakinkan daripada penjelasan seorang profesor, hanya karena tampilannya lebih menarik dan algoritma membawanya ke permukaan.
Lahirnya “Pakar Jadi-jadian”
Di tengah derasnya informasi, sebagian masyarakat merasa mampu memahami isu kompleks hanya dari potongan konten singkat. Padahal pemahaman demikian tidak pernah menyentuh detail metodologi, validitas, maupun data pendukung.
Fenomena ini melahirkan pakar instan, figur yang percaya diri berlebih, tetapi tanpa dasar pengetahuan memadai. Lebih bahaya lagi, opini mereka justru kerap memengaruhi publik, bahkan kadang masuk ke ruang kebijakan ketika pemerintah terjebak mengikuti arus viral ketimbang analisis ilmiah.
Kondisi tersebut, menurut Prof. Ramli, merupakan tanda runtuhnya kepakaran. “Otoritas ilmiah melemah, sementara viralitas justru merajai pengetahuan,” ujarnya.
Ilusi Digital yang Meningkatkan Kerentanan
Laporan Kaspersky bertajuk The Digital Illusion menyebut bahwa generasi milenial—penduduk asli digital yang terjebak dalam ilusi bahwa mereka sudah cukup tahu hanya karena sering berselancar di internet. Padahal 70 persen dari mereka bahkan jarang memverifikasi identitas lawan komunikasi daring.
Ilusi ini membuat pengguna terlalu percaya pada apa yang dilihat online, mudah tertipu, dan lengah terhadap ancaman kejahatan siber. Kepercayaan diri yang tidak sejalan dengan kompetensi menciptakan kondisi ideal bagi penipuan digital, manipulasi informasi, hingga rekayasa sosial.
“Kematian Kepakaran” dan Polarisasi Publik
Pemikiran Tom Nichols dalam The Death of Expertise kembali relevan. Ia menjelaskan bahwa internet yang terlalu terbuka membuat semua orang merasa pendapatnya setara dengan para ahli. Ketika data dan opini diperlakukan sama, ruang diskusi menjadi dangkal. Pandangan berbasis penelitian kerap dibalas dengan komentar singkat atau teori konspirasi yang viral.
Ini berbahaya bagi demokrasi. Ketika masyarakat meyakini semua pendapat harus setara, diskusi publik terseret menuju populisme. Sementara itu, pakar yang sebenarnya justru dianggap elitis, anti-demokrasi, atau terlalu teoritis.
Mengembalikan Wibawa Pengetahuan
Di tengah derasnya transformasi digital, tantangan terbesar bukan sekadar memerangi hoaks. Yang lebih penting adalah memulihkan kembali penghargaan terhadap kedalaman berpikir, metode ilmiah, dan otoritas keahlian.
Kritikalitas, verifikasi, dan literasi digital harus menjadi norma baru bagi masyarakat. Tanpa itu, ruang publik akan dikuasai opini dangkal yang viral, bukan gagasan yang benar dan bermanfaat.
Mengutip Prof. Ramli, “Kita harus kembali menempatkan ilmu pada martabatnya.”
***
Tim Redaksi Queensha Jepara