| Foto, calon penerus bangsa Indonesia (ilustrasi anak-anak Indonesia). |
Queensha.id - Opini Publik,
Indonesia tidak pernah kekurangan orang pintar. Setiap tahun, ribuan sarjana lahir dari perguruan tinggi, membawa gelar, prestasi, dan kepercayaan diri untuk bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Anak-anak bangsa menunjukkan kapasitas intelektual yang membanggakan. Namun di balik limpahan kecerdasan itu, muncul satu ironi besar yang kian terasa: keteladanan justru semakin langka.
Kecerdasan tanpa keteladanan ibarat mesin canggih tanpa kemudi. Ia kuat, cepat, dan berpotensi melaju jauh—namun mudah keluar jalur. Ruang publik hari ini dipenuhi figur-figur cerdas yang piawai berdebat di layar televisi, vokal di media sosial, bahkan menduduki jabatan strategis. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang gagal memberi contoh dalam hal paling mendasar yakni kejujuran, tanggung jawab, dan empati.
Masalah bangsa ini sejatinya bukan krisis pengetahuan, melainkan krisis contoh nyata. Anak-anak Indonesia tidak hanya belajar dari buku pelajaran atau ruang kelas, tetapi dari apa yang mereka lihat setiap hari. Ketika pelanggaran aturan dianggap lumrah, ketidakjujuran ditoleransi, dan kekuasaan dipertontonkan tanpa etika, maka nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam pendidikan formal kehilangan daya hidupnya.
Keteladanan adalah bahasa paling jujur dalam pendidikan dan kehidupan sosial. Ia tidak membutuhkan pidato panjang atau teori rumit. Satu tindakan kecil yang konsisten sering kali jauh lebih berpengaruh daripada seribu kata yang indah. Ironisnya, di era yang serba viral, teladan kerap kalah pamor dibanding sensasi dan kontroversi. Yang tenang dan konsisten tenggelam, sementara yang gaduh justru mendapat sorotan.
Di ruang publik, kita lebih sering menjumpai orang yang pandai berargumentasi daripada mereka yang setia pada nilai yang diucapkan. Padahal, bangsa yang besar tidak dibangun semata oleh kecerdasan, melainkan oleh kepercayaan. Dan kepercayaan hanya lahir dari integritas yang terjaga, bukan dari kepintaran akademik semata.
Keteladanan juga tidak selalu lahir dari panggung besar atau jabatan tinggi. Ia tumbuh dari keseharian yaitu guru yang tetap jujur meski hidup sederhana, pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, orang tua yang menepati janji kecil kepada anaknya, atau anak muda yang berani mengatakan kebenaran meski harus berdiri sendirian. Dari merekalah karakter bangsa sesungguhnya dirawat.
Jika Indonesia ingin benar-benar melangkah maju, investasi terbesar bukan hanya pada peningkatan kecerdasan, tetapi pada pembentukan karakter. Kita membutuhkan lebih banyak figur yang tidak hanya pintar berbicara, tetapi juga layak ditiru dalam tindakan. Sebab pada akhirnya, Indonesia tidak kekurangan orang pintar yang kian mendesak adalah hadirnya teladan yang bisa dipercaya dan diikuti.
***
Tim Redaksi.