Notification

×

Iklan

Iklan

Bentrok Simbolik di Aceh Utara: Bendera GAM Berkibar, Wartawan Diduga Diintimidasi Aparat TNI

Jumat, 26 Desember 2025 | 15.11 WIB Last Updated 2025-12-26T08:13:24Z
Foto, suasana bentrok di wilayah Pase, yaitu wilayah Simpang Kandang, Kota Lhokseumawe, dan di depan kantor Bupati Aceh Utara, Landing, Lhokseumawe.


Queensha.id - Aceh, 


Situasi keamanan di wilayah Pase kembali memanas. Massa yang membawa dan mengibarkan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terlihat berhadapan langsung dengan aparat TNI bersenjata lengkap di dua titik strategis, yakni Simpang Kandang, Kota Lhokseumawe, serta di depan Kantor Bupati Aceh Utara, Landing, Lhoksukon, Kamis (25/12/2025).


Aksi tersebut mencerminkan akumulasi kekecewaan publik terhadap negara, terutama terkait penanganan bencana banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. 


Massa menuntut pemerintah pusat segera menetapkan status bencana nasional, yang dinilai penting untuk mempercepat bantuan dan pemulihan bagi warga terdampak.


Di tengah pengamanan ketat aparat TNI, bendera GAM dikibarkan secara terbuka sebagai simbol perlawanan dan protes. Kehadiran simbol separatis itu membuat situasi di lapangan menegang, meski aksi berlangsung tanpa bentrokan fisik terbuka antara massa dan aparat.


Namun ketegangan justru berujung pada dugaan tindakan represif terhadap jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe mengecam keras dugaan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI terhadap wartawan yang tengah menjalankan tugas jurnalistik.


Korban diketahui bernama Muhammad Fazil, Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Lhokseumawe. Saat itu, Fazil sedang meliput aksi dan merekam dugaan tindakan represif aparat terhadap massa, sebuah aktivitas yang sah dan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


Menurut AJI, seorang oknum anggota TNI bernama Praka Junaidi mempersoalkan rekaman tersebut dan memaksa agar video dihapus. Meski Fazil telah menjelaskan bahwa video itu belum dipublikasikan dan masih bagian dari proses jurnalistik, oknum tersebut diduga kembali mendatangi korban dan berupaya merampas telepon genggam secara paksa, disertai ancaman akan melempar perangkat tersebut.


Ketua AJI Kota Lhokseumawe, Zikri Maulana, menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk intimidasi kasar dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat bersenjata terhadap warga sipil.


“Ini menunjukkan ketidakpahaman serius aparat terhadap hukum pers dan kebebasan berekspresi,” tegas Zikri.


Akibat insiden tarik-menarik tersebut, telepon genggam milik Fazil dilaporkan mengalami kerusakan dan tidak dapat digunakan, sehingga menghambat kerja jurnalistik dan menimbulkan kerugian materiil. Meski demikian, rekaman video dilaporkan masih tersimpan di dalam perangkat.


AJI menilai peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran disiplin internal, melainkan tindakan serius yang mengarah pada pembungkaman pers. Pasal 8 UU Pers menegaskan bahwa wartawan dilindungi hukum, sementara Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 mengatur ancaman pidana penjara hingga dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta bagi pihak yang dengan sengaja menghambat kerja pers.


Atas kejadian ini, AJI Kota Lhokseumawe mendesak Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto dan Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Joko Hadi Susilo untuk mengusut tuntas kasus tersebut, menjatuhkan sanksi tegas terhadap oknum yang terlibat, serta menjamin perlindungan dan keamanan bagi jurnalis yang menjalankan tugas di Aceh.


AJI menegaskan, pers bukan musuh negara dan kamera wartawan bukan ancaman keamanan. Kekerasan terhadap wartawan adalah kejahatan terhadap demokrasi dan tidak boleh dibiarkan.

***
Tim Redaksi.