Notification

×

Iklan

Iklan

Debt Collector Brutal Memakan Korban, DPR Desak OJK Turun Tangan Hentikan Premanisme Penagihan Utang

Rabu, 17 Desember 2025 | 14.18 WIB Last Updated 2025-12-17T10:01:29Z

Foto, anggota DPR RI komisi XII, Jamaludin Malik asal Jepara.


Queensha.id - Jakarta,


Praktik penagihan utang yang mengarah pada premanisme kembali memakan korban dan memicu sorotan tajam dari parlemen. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Jamaludin Malik, mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera bertindak tegas menertibkan praktik penagihan utang yang dilakukan secara brutal oleh perusahaan pembiayaan maupun pihak ketiga (debt collector).


Desakan itu mencuat menyusul serangkaian insiden kekerasan di lapangan, termasuk kerusuhan di Kalibata yang menewaskan seorang penagih utang alias mata elang, serta kasus kekerasan penagihan di Depok. Menurut Malik, rangkaian peristiwa tersebut menjadi alarm keras atas lemahnya pengawasan dan penegakan aturan di sektor pembiayaan.


“OJK harus bergerak cepat dan tidak boleh membiarkan praktik-praktik premanisme ini terus merajalela. Ini bukan sekadar persoalan etika bisnis, tapi sudah masuk ranah pidana yang meresahkan masyarakat,” tegas Jamaludin Malik pembina Grib Jaya Jepara, Rabu (17/12/2025).



Desak Aturan Konkret dan Mengikat


Malik menegaskan bahwa perusahaan pembiayaan dilarang menggunakan jasa penagih utang dengan metode intimidasi, ancaman, apalagi kekerasan fisik. Ia meminta OJK tidak hanya mengeluarkan imbauan, tetapi menyusun dan menegakkan aturan hukum yang konkret, tegas, dan mengikat terkait tata cara penagihan utang.


Menurutnya, penarikan kendaraan bermotor akibat kredit macet tidak boleh dilakukan secara sepihak di jalan. Proses tersebut harus melalui jalur hukum yang sah, seperti penetapan pengadilan atau mekanisme jaminan fidusia sesuai ketentuan perundang-undangan.


“Jangan menunggu korban bertambah. OJK harus segera menertibkan semua praktik premanisme ini dan memastikan perlindungan konsumen benar-benar hadir di lapangan,” ujarnya.



POJK Sudah Ada, Penegakan Dipertanyakan


Di sisi lain, OJK sejatinya telah memperkuat perlindungan konsumen melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Aturan ini secara tegas melarang penggunaan ancaman, kekerasan fisik maupun verbal, serta tindakan yang mempermalukan konsumen dalam proses penagihan.


POJK tersebut juga membatasi waktu penagihan hanya pada Senin–Sabtu pukul 08.00–20.00 waktu setempat, kecuali ada persetujuan dari konsumen. Selain itu, perusahaan pembiayaan yang menggunakan pihak ketiga wajib memastikan penagih utang memiliki sertifikasi resmi dari lembaga yang terdaftar di OJK, dan tetap bertanggung jawab penuh atas setiap tindakan mereka.



Sanksi Berat Menanti Pelanggar


OJK menegaskan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berujung pada sanksi administratif berat, mulai dari denda hingga Rp15 miliar, pembekuan produk dan layanan, sampai pencabutan izin usaha.


Namun, bagi Jamaludin Malik, aturan di atas kertas tidak akan berarti tanpa penegakan yang tegas dan konsisten. Ia menilai, praktik premanisme yang masih marak menunjukkan adanya celah besar antara regulasi dan realitas di lapangan.


Kasus-kasus kekerasan penagihan utang kini menjadi ujian serius bagi OJK. Publik menunggu apakah lembaga pengawas keuangan itu benar-benar hadir melindungi konsumen, atau sekadar menjadi penonton saat hukum dipermainkan oleh praktik penagihan yang semakin brutal.


***

Wartawan: Aris Bayu Sasongko.

Tim Redaksi.