| Foto, ilustrasi. Seorang marah ke suaminya. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Pertanyaan tentang batasan seorang istri dalam menuntut kebahagiaan kepada suaminya kerap muncul di tengah dinamika rumah tangga modern. Banyak perempuan merasa layak untuk bahagia, sementara sebagian laki-laki merasa terbebani oleh tuntutan yang dirasa berlebihan.
Lalu, apakah seorang wanita boleh terus menuntut kebahagiaan dari suaminya? Bagaimana Islam memandang hal tersebut? Dan seperti apa analisis sosial dari Pengamat Jepara, Purnomo Wardoyo?
Berikut ulasan lengkapnya.
Istri Menuntut Kebahagiaan: Wajar, Tetapi Ada Batasnya
Dalam banyak kasus, tuntutan kebahagiaan muncul karena adanya harapan bahwa suami akan memberi rasa aman, perlindungan, perhatian, dan kasih sayang. Namun, pertanyaan krusialnya adalah sampai sejauh mana tuntutan itu pantas?
Fenomena ini tidak sedikit memicu pertengkaran, bahkan keretakan rumah tangga, ketika satu pihak merasa terbebani oleh ekspektasi yang terlalu tinggi.
Pandangan Islam: Kebahagiaan Adalah Tanggung Jawab Bersama
Islam memberikan posisi terhormat kepada suami dan istri sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Soal kebahagiaan, Islam tidak membebankan semuanya kepada suami.
1. Suami memang wajib menafkahi dan memperlakukan istri dengan baik
Allah berfirman dalam QS. An-Nisa: 19:
“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik.”
Artinya, suami wajib memberi nafkah lahir batin, memperlakukan istri dengan kasih sayang, menghargai perasaan, dan menghindari perlakuan kasar.
2. Tetapi istri juga tidak boleh menuntut secara berlebihan
Dalam Islam, kebahagiaan rumah tangga adalah hasil kerja sama dua arah. Sejumlah ulama menegaskan bahwa:
- Istri tidak boleh membebani suami dengan tuntutan yang berada di luar kemampuan suami.
- Kebahagiaan tidak boleh diukur hanya dari materi.
- Istri dianjurkan membantu menciptakan ketenangan rumah (sakinah), bukan hanya menuntutnya.
Seperti disampaikan oleh Buya Yahya:
“Istri boleh meminta yang baik kepada suami, tetapi jika tuntutan itu melampaui kemampuan suami, itu bukan lagi kebaikan tetapi membebani," jelasnya dikutip dari berbagai sumber.
3. Islam menganjurkan saling memahami, bukan saling menuntut
Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.”
(HR. Tirmidzi)
Namun, hadis ini juga diimbangi dengan kewajiban istri untuk taat, menghormati, dan bersyukur atas usaha suaminya.
Pandangan Pengamat Sosial Jepara, Purnomo Wardoyo
Pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, melihat semakin banyak kasus perceraian dipicu oleh ketidakpuasan emosional yang tidak diatur dengan baik.
Menurutnya, wanita berhak bahagia, tetapi harus memahami bahwa suami juga manusia dengan keterbatasan.
“Masalah terjadi ketika standar kebahagiaan istri dipengaruhi media sosial: ingin suami sempurna, romantis setiap hari, banyak uang, dan selalu ada," ujarnya.
Purnomo menyebut tuntutan berlebihan justru berpotensi membuat suami mental breakdown atau menjauh.
Menurut Purnomo Wardoyo, ada tiga prinsip penting:
1. Kebahagiaan rumah tangga itu dua arah
“Tidak realistis menuntut suami menjadi sumber kebahagiaan satu-satunya. Pasangan yang sehat adalah yang saling membahagiakan," tuturnya.
2. Kemampuan suami harus dihormati
Setiap suami memiliki kapasitas ekonomi, emosional, dan waktu berbeda. Menuntut sesuatu yang tidak mampu ia penuhi dapat memicu frustrasi dan konflik.
3. Komunikasi lebih penting daripada tuntutan
Purnomo menilai banyak istri terlalu fokus pada “ingin bahagia”, tetapi tidak mampu menjelaskan kebutuhan secara komunikatif.
“Yang dibutuhkan bukan tuntutan, tetapi dialog. Pasangan harus duduk bersama, memahami apa yang realistis dan apa yang tidak," pungkasnya.
Menuntut Bahagia Boleh, Tetapi Harus Dengan Kesadaran
Dari sudut pandang Islam dan analisis sosial:
- Istri boleh meminta suami membahagiakannya, karena itu bagian dari kewajiban suami.
- Namun tuntutan berlebihan atau di luar kemampuan suami tidak dibenarkan dan hanya membuat hubungan retak.
- Kebahagiaan rumah tangga adalah kerja sama, bukan beban satu pihak.
- Komunikasi, syukur, dan saling memahami adalah kunci menciptakan keluarga sakinah sebagaimana diajarkan Islam.
Pada akhirnya, rumah tangga bukan tentang siapa yang menuntut siapa, tetapi tentang bagaimana dua manusia berjalan seiring, saling menguatkan, dan saling membahagiakan dengan kemampuan terbaik masing-masing.
***
Tim Redaksi.