Queensha.id - Jepara,
Kondangan sejatinya adalah ruang silaturahmi, doa, dan berbagi kebahagiaan. Namun di sejumlah wilayah Jepara, hajatan justru kerap berubah menjadi beban ekonomi jangka panjang. Bukan karena mahalnya konsumsi atau dekorasi, melainkan akibat satu tradisi yang diwariskan turun-temurun dan nyaris tak pernah digugat: nyumbang rokok slop yang dicatat sebagai utang sosial.
Alih-alih sedekah, sumbangan rokok dalam kondangan di Jepara telah beralih fungsi menjadi semacam “piutang kolektif”. Nama pemberi, jumlah slop, hingga merek rokok dicatat rapi dan bukan di buku resmi, tetapi di ingatan sosial warga. Kelak, catatan itu akan “ditagih” saat si pemberi menggelar hajatan serupa.
Gengsi Sosial di Atas Kemampuan Dompet
Di Jepara, nyumbang rokok bukan sekadar membantu tuan rumah. Ia menyentuh wilayah gengsi dan kepantasan sosial. Rokok Sukun dengan harga hampir Rp200 ribu per slop dianggap standar. Naik kelas sedikit, Djarum mendekati Rp250 ribu per slop, dan aura “mampu” pun ikut terangkat.
Masalahnya, tidak semua dompet sejalan dengan tuntutan gengsi. Banyak warga terpaksa membeli rokok mahal bukan karena mampu, tetapi karena takut dicap pelit, ora umum, atau tidak tahu adat—terutama jika yang punya hajatan adalah saudara atau tetangga dekat.
Harga Rokok Naik, Beban Tradisi Ikut Membengkak
Kenaikan harga rokok memperparah situasi. Jika pada 2020 satu slop masih bisa ditebus sekitar Rp150 ribuan, maka pada 2025 harganya melonjak signifikan. Konsekuensinya, kewajiban sosial ikut menggelembung. Musim nikah bisa menjadi musim boncos. Gaji sebulan lenyap hanya untuk memenuhi “kewajiban” kondangan.
Ironisnya, tekanan ini kerap dibungkus dalih “investasi sosial”.
Padahal, tidak ada jaminan kesejahteraan dari investasi yang dibangun di atas paksaan dan rasa sungkan.
Utang Piutang Berkedok Tradisi
Inilah inti persoalan: slop rokok tidak pernah benar-benar dianggap sedekah. Ia adalah potang—piutang tanpa perjanjian tertulis, tetapi dengan sanksi sosial yang nyata. Kurang membalas? Siap-siap jadi bahan bisik-bisik. Tidak membalas? Nama bisa masuk arsip ingatan kolektif warga.
Tradisi ini mengubah silaturahmi menjadi transaksi. Kebahagiaan menjadi cicilan yang tak pernah lunas.
Rokok Pindah Tangan, Nilai Menyusut
Lebih ironis lagi, rokok hasil sumbangan jarang dinikmati tuan rumah. Sebagian besar dijual kembali ke pengepul sebagai rokok poden dengan harga lebih murah demi cepat cair. Di satu sisi, tamu memaksakan diri membeli rokok mahal. Di sisi lain, nilai rokok itu langsung menyusut saat diuangkan. Yang tersisa hanyalah selisih kerugian dan beban balasan di masa depan.
Tradisi yang Tak Lagi Sehat
Jika ditarik ke akar sejarah, tradisi ini mungkin lahir dari semangat gotong royong. Namun dalam praktik hari ini, ia melahirkan tekanan, ketimpangan, dan rasa sungkan berkepanjangan. Warga yang tidak merokok ikut terbebani.
Mereka yang ekonominya pas-pasan tercekik. Bahkan yang tak pernah punya hajatan pun tetap menanggung potang orang lain.
Tradisi tidak selalu sakral. Ketika ia menyulitkan banyak orang, menghentikannya bukan pembangkangan, melainkan pembaruan.
Kondangan seharusnya tentang hadir dan mendoakan, bukan soal merek rokok, harga slop, dan catatan potang. Jepara tidak akan kehilangan identitasnya hanya karena berhenti nyumbang rokok. Namun banyak warganya mungkin akan bernapas lebih lega.
Sebab, tidak semua yang diwariskan layak dipertahankan dan terutama jika isinya hanya gengsi dan utang yang tak pernah benar-benar lunas.
Pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai tradisi nyumbang rokok slop dalam hajatan warga sudah bergeser jauh dari nilai gotong royong yang seharusnya dijunjung tinggi.
“Awalnya ini mungkin lahir dari semangat saling membantu, tetapi dalam praktik hari ini justru berubah menjadi tekanan sosial yang tidak sehat. Orang datang ke kondangan bukan lagi dengan hati gembira, melainkan dengan rasa cemas: takut tidak mampu membalas, takut dicap pelit, atau takut melanggar adat,” ujar Purnomo Wardoyo, Minggu (28/12/2025).
Ia menegaskan, ketika sebuah tradisi mulai memaksa orang berutang demi menjaga gengsi, maka tradisi tersebut patut dievaluasi.
“Gotong royong itu seharusnya meringankan, bukan memberatkan. Kalau sumbangan dicatat dan dianggap utang, itu sudah bukan sedekah, tapi transaksi sosial yang penuh paksaan,” katanya.
Menurut Purnomo, kondisi ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan sosial di masyarakat.
“Yang ekonominya kuat mungkin tidak merasa masalah, tapi bagi warga kecil, ini bisa menjadi beban serius. Tradisi seperti ini justru memelihara rasa sungkan dan ketidakjujuran ekonomi,” tambahnya.
Ia pun mendorong adanya kesadaran kolektif warga Jepara untuk berani mengubah kebiasaan.
“Tradisi bukan kitab suci. Kalau sudah tidak relevan dan merugikan banyak orang, maka mengakhirinya adalah bentuk kedewasaan sosial, bukan pengkhianatan budaya,” pungkas Purnomo Wardoyo.
***
Tim Redaksi.