Queensha.id - Jakarta,
Di balik deretan gedung pencakar langit yang terus tumbuh menjulang di Ibu Kota, potret lain Jakarta berdiri dalam senyap: kontrakan semi permanen berukuran 3 x 3 meter yang berdempetan di pinggir rel kereta api. Dengan harga sewa Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan, hunian-hunian ini menjadi satu-satunya pilihan bagi warga miskin kota untuk bertahan hidup.
Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, menjadi salah satu contoh nyata. Puluhan kontrakan sempit berdiri di atas lahan terbatas, dihuni ratusan jiwa yang setiap hari hidup berdampingan dengan risiko kecelakaan, banjir, kebisingan, hingga ancaman kesehatan.
Meski jauh dari kata layak, kontrakan murah ini justru menjadi “penyelamat” bagi mereka yang tak mampu mengakses hunian formal di Jakarta.
“Di sini harganya beda-beda. Kalau kamar mandi di dalam bisa Rp400 ribu sampai Rp500 ribu. Kalau gubuk kayak punya saya, Rp350 ribu, kamar mandi bareng,” ujar Nur (25), salah satu penghuni kontrakan, Kamis (18/12/2025).
Hidup di Ruang Sempit dan Tidak Manusiawi
Kontrakan Nur hanya seluas 3 x 3 meter. Ruang sempit itu ia tempati bersama suami dan bayinya yang masih kecil. Atap bocor, dinding lembap, dan pencahayaan minim menjadi kondisi sehari-hari. Saat hujan turun, kasur lantai yang sudah lusuh sering basah, memaksa mereka tidur beralaskan kain sarung.
Biaya sewa Rp350.000 sudah termasuk listrik. Namun untuk air, Nur harus membeli dari tetangga dengan harga Rp5.000 hingga Rp10.000 per jeriken.
“Penginnya ngontrak yang layak. Siapa sih yang enggak mau hidup enak? Tapi penghasilan suami cuma juru parkir, kadang cuma cukup buat makan,” ucap Nur lirih.
Kisah serupa dialami Diah (60). Selama enam tahun terakhir, ia tinggal di kontrakan pinggir rel setelah tak lagi mampu membayar kontrakan Rp1 juta per bulan di wilayah Warakas.
“Setiap malam suka berdoa, kapan ya bisa punya tempat tinggal yang lebih layak buat anak dan cucu,” kata Diah.
Bagi Diah, penderitaan tak berhenti pada sempitnya ruang. Kontrakan yang ia tempati kerap dimasuki tikus hingga ular dari lahan kosong di belakang bangunan.
Ketimpangan Sosial dan Krisis Perumahan
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menilai fenomena kontrakan murah di kawasan kumuh sebagai manifestasi krisis perumahan (housing crisis) yang lazim terjadi di negara-negara global south, termasuk Indonesia.
“Mereka yang tinggal di kontrakan padat dan kumuh adalah korban ketidakadilan dalam akses terhadap hunian layak,” ujar Rakhmat.
Dalam banyak kajian perkotaan, krisis perumahan ini bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hunian layak merupakan hak dasar warga negara, namun kelompok miskin kota kerap tersingkir dalam struktur kebijakan perumahan.
Kebijakan Pro Modal, Rakyat Tersingkir
Menurut Rakhmat, salah satu akar masalah terletak pada orientasi pembangunan yang terlalu berpihak pada pemilik modal.
“Pemerintah terlalu akomodatif terhadap pemilik modal yakni untuk mal, apartemen, pusat perkantoran tetapi mengabaikan akses housing bagi warga miskin. Ini bukan sekadar kegagalan kebijakan, tapi bisa masuk kategori pelanggaran HAM,” tegasnya.
Akibatnya, masyarakat hanya mampu menyewa hunian murah yang tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan. Bahkan, sebagian lainnya terpaksa hidup tanpa rumah sama sekali.
Ancaman Kesehatan dan Keretakan Sosial
Hunian sempit di pinggir rel bukan hanya persoalan fisik, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan dan relasi sosial.
“Rumah bukan hanya bangunan, tapi ruang hidup. Ada standar global yaitu satu orang idealnya memiliki ruang sekitar sembilan meter persegi. Kalau empat orang, minimal 36 meter persegi,” jelas Rakhmat.
Di kontrakan 3 x 3 meter, seluruh fungsi hidup dipaksa bertumpuk dalam satu ruang. Tidur berhimpitan, minim privasi, dan tidak ada ruang dialog membuat potensi konflik keluarga semakin tinggi.
Negara Tak Boleh Lepas Tangan
Rakhmat menegaskan, pemerintah tidak boleh melepaskan tanggung jawab terhadap warganya yang tinggal di hunian tidak layak. Pembiaran terhadap kondisi ini sama artinya dengan mengabaikan hak dasar manusia.
“Kalau negara lepas tangan, itu pelanggaran HAM. Hak atas hunian adalah hak sosial dan ekonomi,” ujarnya.
Sebagai solusi, ia mendorong pemerintah memperluas pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dan rumah susun sederhana milik (rusunami), khususnya bagi masyarakat miskin kota.
Kontrakan Rp300.000 di Jakarta bukan sekadar kisah kemiskinan, melainkan cermin tajam ketimpangan pembangunan. Di saat ibu kota terus tumbuh megah, masih ada warga yang berjuang bertahan hidup di ruang sempit yang jauh dari kata manusiawi.
Pertanyaannya bukan lagi apakah negara mampu membangun gedung tinggi, tetapi apakah negara bersedia memastikan setiap warganya memiliki tempat tinggal yang layak, aman, dan bermartabat.
***
Tim Redaksi.